A. Fiksi
1. Abath al-Agdar, 1939 –diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul Mockery of The Fates.
2. Radubis, 1943
3. Kifah Tibah, 1944
4. Khan al-Khalili, 1944
5. Al-Kahirah al-Jadidah, 1946 – diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul New Cairo.
6. Zuqaq al-Midaqq, 1947 –diterjemahkan Ke dalam bahasa Inggris dengan judul Midaq Alley.
7. Ignis fatuus, 1948
8. Al-Sarab, 1949
9. Bidayah Wa-Nihayah, 1949 –diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan Judul The Beginning And The End
10. Al-Thulatiya, 1956-57 –diterjemahkan dalam bahasa Inggris dengan judul Cairo Trilogy.
a. Bayn al-Quasrayn (1956) (Palace walk)
b. Quasr al-Shawq (1957) (Palace of desire)
c. Al-Sukkariyah (1957) - Sugar Street
12. Children of Gebelaawi, 1959 –diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul Children of the Alley.
13. Al-Liss Wa-al-Kilab, 1961 – diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul The Thief And The Dogs.
14. Al-Summan Wa-al-Kharif, 1962 – diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul Autumn Quail.
15. Al-Tariq, 1964 – diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul the search.
16. Al-Shahhadh, 1965 – diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul The Beggar.
17. Thartharah Fawq al-Nil, 1966 –diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul Adrift On The Nile.
18. Awlad haritna, 1967 –diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul Children Of Gebelawi / Children Of The Alley.
17. Miramar, 1967
18. Al Maraya, 1971 –diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul Mirrors.
19. Al-Hubb Taht al Matar, 1973
20. Al-karnak, 1974 –diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul Three Contemporary Egyptian Novels.
21. Quab al-layl, 1975
22. Hadrat al-muhtaram, 1975 –diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul Respected Sir.
23. Malhamat al-Harafish, 1977 –diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul The Harafish.
24. Ars al-Hubb, 1980
25. Afrah al-Qubbah, 1981 – diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul Wedding song.
26. Layali alf Laylah, 1981 – diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul Arabian Nights And Days
27. Al-Baqi Min al-Zaman Sa'ah, 1982
28. Rihlat Ibn Fattumah, 1983 –diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul The Journey Of Ibn Fatouma
29. Amam al-'arsh, 1983
B. Non-Fiksi:
1. Hawl Al-Din wa Al-Dimuqratiyya [On Religion and Democracy], edited by Fathi El-Ashri, Cairo: Al-Dar Al-Misriyya Al- Lubnaniyya : 1990
2. Hawl Al-Thaqafa wa Al-Ta'lim [On Culture and Education], edited by Fathi El Ashri, Cairo: Al-Dar Al-Misriyya Al- Lubnaniyya; 1990
3. Hawl Al-Shabab wa Al-Huriyya [On Youth and Freedom], edited by Fathi El- Ashri, Cairo: Al-Dar Al-Misriyya Al- Lubnaniyya: 1990
C. Kumpulan Wawancara
1977 : Atahaddath Ilaykum, Kumpulan Wawancara diedit oleh Sabry Hafez;
1980 : Naguib Mahfouz Yatadhakkar, wawancara diedit oleh Gamal El-Ghitani;
1998 : Naguib Mahfouz: Safahat min Mudhakaratihi wa Adwaa Gadida 'ala Adabih wa Hayatih, wawancara diedit oleh Ragaa El-Naqqash, Cairo: Al-Ahram Centre for Translation and Publishing.
D. Buku-buku Referensi Tentang Naguib Mahfouz:
1. The Changing Rhythm: A Study of Najib Mahfu's Novels oleh Sasson Somekh (1973)
2. The Modern Egyptian Novel oleh Hilary Kilpatrick (1974)
3. The Arabic Novel oleh Roger Allen (1982)
4. Naguib Mahfouz, Nobel 1988: Egyptian Perspectives (1989) Nobel Laureates in Literature, ed. oleh Rado Pribic (1990)
5. Naguib Mahfouz's Egypt oleh Hayim Gordon (1990)
6. Critical Perspectives on Naguib Mahfouz, ed. oleh Trevor Le Gassick (1991)
7. Naguib Mahfouz, oleh by Michael Beard dan Adnan Haydar (1993)
8. Naguib Mahfouz: The Pursuit of Meaning oleh Rasheed el-Enany (1993)
9. The Early Novels of Naguib Mahfouz: Images of Modern Egypt oleh Matti Moosa (1994)
10. The Cairo of Naguib Mahfouz by Gamal al-Ghitani (2000)
Read more...
Selasa, 26 Agustus 2008
Bibliography Najib Mahfuz
Diposting oleh
Muallaqat Forum
di
17.40
0
komentar
Wawancara Najib Mahfuz
Wawancara dengan Najib Mahfuz oleh penulis dan jurnalis Muhammad salmawy pada bulan Maret 2006.
Muhammad salmawy: Apa yang Anda rasakan ketika mengetahui bahwa Anda memperoleh Nobel Sastra?
Najib Mahfuz: Saya merasa sangat bahagia sekaligus terkejut. Saya tak pernah menyangka akan memperoleh Nobel. Selama saya hidup Nobel selalu diberikan pada para penulis kelas atas seperti Anatole France, Bernard Shaw, Ernest Hemingway, dan William Faulkner. Ada juga orang-orang seperti Jean-Paul Sartre dan Albert Camus. Saya juga mendengar bahwa suatu saat nanti seorang penulis Arab akan memperoleh Nobel, namun saya sangat meragukan hal itu.
Mohamed Salmawy: Tetapi bukankah 20 tahun sebelum Anda memperoleh Nobel Abbas Mahmoud El-Aqqad telah meramalkan Anda akan memperolehnya? Pada sebuah wawancara televisi, ia mengatakan bahwa Anda pantas menerima Nobel.
Najib Mahfuz: Ah…El-Aqqad terlalu berlebihan.
Mohamed Salmawy: Apakah memperoleh Nobel mempengaruhi kehidupan dan karya-karya Anda berikutnya?
Naguib Mahfouz: Ya. Nobel semakin mempertebal tekad saya untuk terus menulis. Namun sayangnya, saya menerimanya pada masa akhir karier kepenulisan saya. Buku yang berhasil saya tulis setelah menerima Nobel hanyalah Echoes of an Autobiography. Sekarang saya tengah menulis Dreams of Recuperation. Bahkan novel Qushtumur, yang dimuat secara berseri di Al-Ahram, saya tulis sebelum saya menerima Nobel. Novel itu diterbitkan dalam bentuk buku setelah pemuatan berseri. Secara personal Nobel telah membentuk gaya hidup baru yang belum pernah saya jalani dan tak pernah saya bayangkan. Saya harus menghadiri banyak wawancara dan pertemuan yang diadakan oleh media, namun sebenarnya saya lebih memilih untuk bekerja dalam ketenangan.
Mohamed Salmawy: Apa yang membuat Anda menjadi penulis dan siapa saja yang menginspirasi karier Anda?
Naguib Mahfouz: Saya mulai menulis ketika usia sekolah dasar. Saya terinspirasi para penulis Arab kontemporer seperti El-Manfalouti, Taha Hussein, dan El-Aqqad. Mereka seperti memindahkan gairah menulis pada saya, akibatnya saat berada di sekolah menengah, saya memutuskan untuk pindah dari kelas sains ke kelas sastra.
Mohamed Salmawy: Peristiwa apakah yang paling penting sejak Anda menerima Nobel?
Naguib Mahfouz (menunjuk lehernya): Ini, tikaman yang saya terima di tahun 1994 (ini mengingatkan kita pada upaya pembunuhan yang dilakukan oleh seorang pemuda yang mencoba menikamkan sebilah belati di lehernya. Setelah peristiwa itu tangan Mahfouz mengalami kelumpuhan.) namun saya merasa sangat tersanjung pada cara negara dan masyarakat menunjukkan duka cita mereka.
Mohamed Salmawy: Secara umum apa pengaruh karya-karya Anda pada kesusasteraan Mesir setelah Anda memenangkan Nobel?
Naguib Mahfouz: Haha…jawaban pertanyaan ini seharusnya Anda dapatkan dari para kritikus. Hanya mereka yang bisa menilai apakah karya-karya saya mempengaruhi kesusasteraan Arab atau tidak. Namun, barangkali salah satu efeknya adalah makin banyak karya sastra Arab yang diterjemahkan ke dalam bahasa lain. Saya mendengar ini dari seorang tamu asal Rusia, juga dari orang-orang Jerman yang berkunjung ke Mesir untuk mengundang kita ke Frankfurt International Book Fair.
Read more...
Diposting oleh
Muallaqat Forum
di
17.32
0
komentar
Pertemuan Najib Mahfuz dan Nadine Gordmer
Berikut ini adalah situasi pertemuan antara Najib Mahfuz dan Nadine Gordimer yang dilaporkan oleh Muhammad Salmawy untuk harian Al-Ahram Mesir. Untuk teks asli pada harian tersebut silakan klik di sini . Dalam hal ini, Muallaqat Forum hanya berperan sebagai penerjemah dan kemudian mempublikasikannya kembali melalui blog ini. Hak cipta liputan ini sepenuhnya milik harian Al-Ahram.
- Muallaqat Forum
Gordimer dan seorang penulis asal Prancis, Robert Sole, datang ke Mesir atas undangan dari menteri kebudayaan Faruq Husni, sebagai tamu kehormatan pada Cairo International Book Fair ke 37.
Kira-Kira dua jam setelah mendarat di Mesir, Gordimer langsung bersiap pergi ke tempat tinggal Najib Mahfuz di Agoza yang berlatar sungai Nil. Dua penerima Nobel tersebut (Mahfuz menerima Nobel tahun 1988 dan Gordimer tahun 1991) kemudian terlibat dalam percakapan yang sangat akrab–sesuatu yang membanggakan saya karena telah lama merencanakan pertemuan ini. Tepatnya ketika pertama kali saya menghubungi Gordimer untuk menyampaikan undangan dari Faruq Huni.
Ketika saya meneleponnya, Gordimer menerima undangan tersebut dengan sangat girang dan segara menambahkan, "sejak lama saya ingin bertemu Najib Mahfuz, apakah Anda bisa mengatur pertemuan tersebut?" Dua tahun lalu, Gordimer mengunjungi Mesir untuk yang kedua kali namun ia tidak bisa bertemu dengan Mahfuz yang ia juluki sebagai "salah satu bakat kreatif terbesar dalam jagad novel dunia."
"Saya mengoleksi seluruh Karya Mahfuz yang diterbitkan dalam bahasa Inggris," ia berkata pada saya melalui telepon. "Kapan pun saya membaca bukunya saya terdorong untuk membaca buku-bukunya yang lain."
Ketika saya memberitahukan hal ini pada Mahfuz, ia meresponnya dengan positif, "Itu berarti saya bisa menyambutnya dengan buku berbahasa Inggris terakhir saya" kata Mahfuz. (buku itu adalah The Dreams yang diluncurkan bulan kemarin bertepatan dengan ulang tahunnya yang ke 93. Minggu ini, edisi Arabnya yang diterbitkan oleh penerbit Dar al-Shurouq akan diluncurkan di pameran buku.)
Mahfuz memberikan buku tersebut pada tamunya ketika kami tengah duduk di ruang tamu kediamannya. Sejenak Gordimer membolak-balik halaman-halaman buku itu, melihat-lihat sampulnya yang berwarna biru, membaca daftar isi dan komentar-komentar di sampul belakang. "Saya belum pernah melihat buku ini," katanya. “Buku itu berisi sebagian kecil cerita pendek yang baru saja saya tulis. Diinspirasi oleh mimpi-mimpi," timpal Mahfuz.
Perempuan Afsel itu terheran-heran menatap Mahfuz, "Anda bisa menulis pada usia setua ini?"
Saya hanya menuliskan mimpi-mimpi tersebut, tidak lebih. Apakah Anda tak menulis lagi?"
"Oh, Menulis. Sekarang menjadi itu hal yang sangat sulit dilakukan. Saya baru saja menyelesaikan sebuah novel dan setiap kali saya menyelesaikan sebuah novel, saya selalu merasa novel tersebut akan menjadi novel terakhir."
Percakapan ini kemudian berubah menjadi diskusi panjang tentang apakah seorang penulis sebaiknya pensiun.
Suatu saat saya pernah merasa bahwa saya tidak akan bisa lagi menulis lagi," kata Mahfuz pada Gordimer. "Itu terjadi di awal 1950-an ketika saya menyelesaikan Trilogi saya. Saat itu saya merasa telah menumpahkan seluruh kemampuan menulis novel dan tidak lagi memiliki sesuatu pun yang bisa dikatakan. Berkali-kali saya mencoba menulis, namun selalu gagal. Saya pun beralih ke dunia film, menulis skenario. Ketika saya bergabung dengan Serikat Pekerja Seni, Anda tahu, saya mendaftarkan diri sebagai penulis skenario, bukan sebagai novelis. Enam tahun kemudian tanpa diduga-duga saya mendapati diri saya tengah menulis sebuah novel baru, Children of Jabalawi (edisi Arab, Aulad Haratina) yang kemudian diterbitkan pada tahun 1959. Setelah novel ini, aktivitas kesusastraan saya pun terus mengalir, tulisan-tulisan saya membanjir dan terus membanjir hingga bertahun-tahun kemudian.” “Terus terang,” tambah Mahfuz, “Saya merasa tertekan ketika saya berpikir saya tidak bisa menulis lagi.”
“Berapa usia Anda pada saat itu?"
“Awal 40-an"
“Seandainya saya berada dalam posisi Anda," kata Gordimer, "barangkali saya juga akan merasa tertekan." Gordimer menambahkan, "Tapi bukankah depresi merupakan risiko profesi para pekerja kesusastraan. Pada usia 81 ini saya merasa telah banyak menulis."
“Kini saya berusia 93 tahun dan masih tetap menulis," kata Mahfuz. "Ini hanya persoalan gairah dan motivasi yang pada suatu saat dirasakan oleh para penulis dan di saat yang lain tidak, bergantung pada usianya. Dalam kasus saya, gairah untuk menulis tetap menyala bahkan setelah kondisi fisik saya mulai menjadi hambatan. Kondisi ini membuat proses menulis benar-benar menjadi sebuah cobaan berat. Saya tidak bisa lagi memegang pena dengan baik setelah kejadian yang menimpa tangan kanan saya. Sementara mata saya tidak bisa melihat dengan jelas apa yang telah ditulis oleh tangan saya di halaman-halaman kertas–sesuatu yang kemudian saya coba atasi dengan menggunakan metode dikte."
“Saya tidak dapat melakukannya.”
“Demikian juga saya. Bertahun-tahun saya berusaha menghindari metode tersebut karena bagi saya pena adalah jari-jari saya yang lain. Selama hampir 60 tahun saya telah mengidentikan diri dengannya sehingga tak sekalipun saya berpikir untuk menulis tanpa menggunakannya. Namun kemudian, ketika tulisan tangan saya tidak bisa lagi dibaca–karena kedua tangan saya terus bergetar–akhirnya saya menyerah. Ini sangat sulit karena saya hanya bisa mendiktekan selama beberapa jam, ketika asisten saya, yang membacakan naskah, berada di sini. Ini membuat saya terpaksa menyimpan seluruh cerita baru di dalam hati dan kemudian mendiktekannya kepada asisten saya saat ia datang."
Kedua orang penulis besar itu terdiam setelah berbagi pengalaman tentang kondisi mereka saat ini serta usaha-usaha untuk melampauinya agar tetap bisa menulis. Akhirnya penerima nobel dari Afrika Selatan ini bertanya pada koleganya dari Afrika Utara,
"Kapan Anda mulai menulis, Mahfuz?"
Mahfuz tertawa, "ketika saya menjadi murid sekolah dasar."
Gordimer diam, menanti kata-kata Mahfuz selanjutnya. Mahfuz meneruskan, "pada saat itu saya banyak membaca cerita detektif. Dan setiap kali saya menyelesaikan salah satu novel tersebut, saya menulis ulang dengan gaya saya sendiri. Setelah itu saya mulai menulis cerita yang inspirasinya saya ambil dari kehidupan saya sendiri hingga kemudian saya mampu menggunakan imajinasi saya untuk membuat cerita. Saya ingat salah satu mentor saya yang paling berpengaruh, Salama Moussa, pernah berkata 'kau berbakat namun cerita-cerita milikmu tidak bagus.' Namun, dengan tekun saya terus mencoba menulis.
Dengan penuh rasa ingin tahu Mahfuz menatap tamunya dan kemudian bertanya "Anda sendiri, kapan Anda mulai menulis?"
“Pada usia 9 tahun,” jawab Gordimer. “Sebelumnya saya adalah seorang penari balet. Saya mulai belajar menari sejak berusia 6 tahun namun pada usia 9 tahun jantung saya bermasalah dan dokter melarang saya menari. Saya pikir dokter tersebut keliru karena saya berhasil menjalani hidup yang sangat melelahkan dan sekarang saya berusia lebih dari 80 tahun. Namun pada waktu itu saya tidak mengetahuinya sehingga saya mengikuti instruksi dokter yang dikatakan pada ibu saya. Sejak saat itulah saya banyak membaca. Saya menjadi sangat tertarik pada dunia tulis-menulis. Hingga pada akhirnya menulis menjadi dunia saya."
Gordimer kemudian bertanya pada Mahfuz "apakah Anda memiliki keinginan lain selain menjadi penulis?"
“Di awal kehidupan saya,” kata Mahfuz, "kedua orang tua saya menginginkan saya menjadi seorang insinyur mesin. Itu karena nilai matematika saya bagus. Namun, bagi saya menulis lebih menggairahkan dari pada onggokan mesin seperti halnya bagi Anda, menulis lebih menggairahkan dari pada balet.
Kedua penulis besar itu tertawa ketika mengenangkan masa lalu masing-masing. Seperti dua orang bocah yang baru saja meninggalkan ruang ujian, keduanya bertanya seberapa sulit soal-soal ujian tersebut.
Gordimer kemudian mengambil dua buah buku dari tasnya dan memberikan keduanya pada Mahfuz, sembari berkata, "buku pertama adalah kumpulan cerita pendek saya yang baru saja diterbitkan dengan judul Loot." Dia kemudian menuliskan kata-kata ini di halaman pertama buku tersebut, "Untuk Najib Mahfuz dengan penuh rasa hormat pada kebesaran dan kehangatan cintanya serta rasa terima kasih yang tulus untuk pencerahan dan kenikmatan saat membaca buku-bukunya. Nadine Gordimer, Kairo 2005."
Sedangkan tentang buku yang satunya lagi, Telling Tales, Gordimer berkata, "buku ini hanya berisi satu cerita milik saya dan 20 penulis lainnya. Beberapa dari mereka adalah para penerima nobel seperti kita." Ia menambahkan, sambil menyebut beberapa nama seperti Gunter Grass dari Jeman, Gabriel Marquez dari Kolombia, Kenzaburo Oe dari Jepang, Jose Saramago dari Portugal. "Namun yang lain,” tambah Gordimer, “pun tidak kalah hebat seperti Artur Miller, John Updike, Paul Theroux, Margret Atwood, Hanif Kureisyi, Woody Allen, dan lain-lain.
"Buku ini,” kata Gordimer, “bermula ketika beberapa tahun lalu saya berpikir bahwa sebagai seorang penulis kita harus melakukan sesuatu untuk para korban AIDS hingga kemudian saya menulis surat pada 20 penulis besar dunia dan meminta mereka mengirimkan sebuah cerita pendek. Saya katakan pada mereka jika saya akan mencari sebuah penerbit yang bersedia menyumbangkan dana untuk biaya percetakan buku dan seluruh prosesnya dan kemudian menyumbangkan keuntungannya untuk para korban AIDS. Semula saya berpikir jika ada 10 atau 15 penulis yang setuju itu sudah cukup untuk dicetak. Namun, saya sangat senang ketika 20 penulis tersebut bersedia dan dengan cepat mengirimkan cerita mereka. Begitulah, hingga akhirnya buku yang berisi 20 cerita pendek ini bisa terbit. Sejauh ini, buku ini telah terjual sekitar 50.000 eksemplar dan diterjemahkan ke dalam kurang lebih 15 bahasa. Saya sangat senang bisa memberikan buku ini pada Anda."
Mahfuz mengucapkan terima kasih pada Gordimer dan menerima buku itu sembari berkata, "Seandainya Anda meminta saya menyumbangkan salah satu cerita saya untuk tujuan seperti itu pasti saya akan mengirimkan juga." “Tetapi,” kata Gordimer, “bukankah pada saat menerima Nobel, Anda telah menyumbangkan uang Anda?
“Saya membagi hadiah Nobel untuk diri saya sendiri, istri, dan kedua anak saya seperti yang diajarkan oleh Islam. Dan kemudian bagian yang saya peroleh saya sumbangkan untuk kemanusiaan. Sumbangan itu kemudian digunakan untuk para penderita gagal ginjal yang harus cuci darah agar bisa mempertahankan hidupnya–yang di Mesir sangat mahal.”
Gordimer mengambil satu buku lagi dari dalam tasnya. Mahfuz tertawa sembari berkata, "Tidak, saya tidak ingin menerima lebih banyak buku dari Anda. Saya hanya memberi satu."
“Saya tidak akan memberikan buku ini melainkan saya ingin Anda memberikannya pada saya. Saya membelinya untuk melengkapi koleksi terbitan Inggris karya-karya Anda. Tolong tanda tangani buku ini dengan pena Anda. Saya tidak menyangka Anda akan memberi saya The Dreams dan saya kebetulan membawa salah satu buku Anda untuk bacaan selama dalam perjalanan. Dengan cara ini, kita telah memberikan masing-masing dua buah buku.
Mahfuz menandatangani bukunya, Ibn Fatouma Travels, dengan tangan yang bergetar dan menyerahkannya pada Gordimer, yang cepat-cepat memasukannya ke dalam tas bersanding dengan The Dreams–seolah-olah ia tengah menyembunyikan keduanya dari tangan-tangan usil.
Gordimer tampaknya tak ingin membebani tuan rumahnya yang menderita karena kedinginan seperti yang berkali-kali ia ucapkan sehingga Gordimer pun berkata, "Sekarang saya akan meninggalkan Anda dan kembali ke Hotel sehingga saya bisa membaca The Dreams."
Mahfuz memandang saya dan berkata "Dan Anda? Apakah Anda bersedia membacakan cerita-cerita yang Nadine Gordimer berikan pada saya?"
Saya berjanji akan membacakannya sambil mengantarkan tamunya yang luar biasa itu ke pintu.
========================
Sumber: Al-Ahram Weekly 3 - 9 February 2005 Issue No. 728
Diposting oleh
Muallaqat Forum
di
16.34
0
komentar
Biografi Najib Mahfuz
Pada tahun 1917, usia enam tahun, Mahfuz dan keluarganya tidak lagi menghirup suasana pinggiran Kairo yang kumuh dan tertinggal. Keluarganya pindah ke kawasan Abbasiyah yang lebih bersih dan modern. Pada saat itu, Mahfuz mulai mengecap pendidikan dasar, al-Madrasah al-Ibtida'iyyah. Pada tahun 1924, di usia tiga belas tahun, Mahfuz memasuki Sekolah Lanjutan; al-Madrasah ats-Tsanawiyyah Fu'ad al-Awwal.
Seiring peningkatan perekonomian keluarganya, pada tahun 1930 Mahfuz melanjutkan studinya di jurusan Filsafat Islam Universitas Kairo. Pada tahun 1934, Mahfuz mengantongi ijazah Sarjana Filsafat. Sebenarnya, Mahfuz mendapatkan tawaran dari Mustafa Abdul Raziq, salah seorang Guru Besar Universitas Kairo untuk menempuh program Doktor dalam bidang Filsafat dan Mistik Islam, namun tawaran itu ditolaknya. Kesenjangan sosial yang dirasakannya sejak kecil dan penderitaan kaum kecil yang tertindas oleh kekuasaan birokrasi Mesir membuat solidaritasnya bangkit. Mahfuz memilih pekerjaan di almamaternya dan menekuni bidang tulis-menulis.
AKTIVITAS NAJIB MAHFUDZ
Sejak pertengahan 1936 sampai 1939, Mahfuz mengabdi di almamaternya sebagai staf Sekretaris Universitas. Karier Mahfuz menanjak perlahan. Selepas dari pekerjaan ini, ia ditugaskan di Kementrian Agama dan Urusan Waqaf. Pekerjaan ini ditekuninya hingga tahun 1964. Pada tahun yang sama, di usia 43 tahun, ia mengakhiri masa lajangnya. Dan sejak saat itulah terjadi perubahan mendasar pada karier Mahfuz, ia diangkat sebagai Direktur Pengawasan Seni.
Pada tahun 1957, ia ditetapkan sebagai Direktur Lembaga Perfilman Nasional Mesir. Selama delapan tahun, Mahfuz mengabdi pada lembaga tersebut hingga ditetapkan sebagai anggota Dewan Tinggi Perlindungan Seni dan Sastra pada tahun 1965. setelah menjadi Penasihat Menteri Kebudayaan Mesir pada tahun 1971, Mahfuz memutuskan pensiun dan kembali mendalami minatnya dalam tulis-menulis, yakni sebagai editor sastra pada Surat Kabar al-Ahram; sebuah surat kabar harian yang dimiliki pemerintah Mesir.
KARYA-KARYA NAJIB MAHFUDZ
Sepanjang kehidupannya, Mahfuz telah menulis sekitar 70 cerita pendek, 46 karya fiksi, serta sekitar 30 naskah drama. Hingga saat ini, karya-karyanya telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dunia termasuk Indonesia. Karya pertama Mahfuz diterbitkan pada tahun 1932, di usia 21 tahun, dalam bentuk terjemahan berjudul al-Misr al-Qadimah. Sejak itu berturut-turut Mahfudz menulis; Hams al-Junun (1938, Cerpen), Abats al-Akdar (1939), serta Redouvis (1943) dan kisah Kifah Thibah (1944). Karya-karyanya tersebut di atas, kerap dianggap sebagai akhir dari periode romantisme Mahfuz. Setelah karya-karya tersebut, ia menjauhi gaya bahasa Manfalutisme (gaya bahasa yang digunakan oleh al-Manfaluti). Kemudian Mahfuz menulis al-Qahirah al-Jadidah (1945).
Tahun 1946, Mahfuz menulis Khan al-Khalili. Selanjutnya berturut-turut ia menulis Zuqaq al-Midaq (1947), as-Sarab (1948), serta Bidayah wa Nihayah (1949). Karya-karyanya ini menandai perubahan gaya bertutur Mahfuz dari romantisme menjadi realisme. Pada tahun 1956-1957, Mahfuz mulai menulis triloginya; Baina al-Qasrain, Qasr asy-Syauq, dan as-Sukriyyah. Trilogi setebal 1500 halaman ini menjadikannya dianugerahi hadiah Nobel Sastra yang diterimanya pada tanggal 13 Oktober 1988 dari Akademi Sastra Internasional di Swedia.
Tahun 1960, Mahfuz menulis Aulad Haratina (edisi bahasa Inggris oleh Philip Steward dengan judul The Children of Our Quarter, London; 1981). Novel panjang ini terbagi dalam lima bab, yakni; Adham, Jabal, Irfah, Rifa'ah, dan Qasim. Penulisan serial novel ini sekaligus menggambarkan arah baru gaya kepenulisan Mahfuz, yakni Simbolisme-Filosofis.
Selanjutnya, Mahfuz menulis al-Liss wa al-Kilab (1961), as-Samman wa al-Kharif, dan Dunya Allah (1962), ath-Thariq (1964), Bait Sayyi' as-Sum'ah dan asy-Syihaz (1965) serta Sarsarah Fauza an-Nil (1966), masih dengan kecenderungan Simbolisme-Filosofis. Pertengahan tahun 1967 sampai 1969, ia membuat cerpen-cerpennya yang merespon persoalan-persoalan keagamaan, nasionalisme Mesir, dan politik. Hal ini bisa dilihat dalam Khimarah al-Qiththi al-Aswad dan Tahta al-Mizallah serta Qisytamar (1969), Hikayah Bi La Bidayah Wa La Nihayah dan Syahru al-'Asal (1971), al-Maraya (1972), al-Hubbu Tahta al-Mathar (1973), al-Karnak (1974), Hikayat Haratina, Qalbu al-Lail, dan Hadhrat al-Muhtaromi (1975), Milhamah al-Harafisy (1977), al-Hubbu Fauqa Hadhbat al-Haram dan asy-Syaithan (1979), 'Ashru al-Hubbi (1980), dan Afrah al-Qubbah (1981).
Pada tahun 1994, Mahfuz mengalami kejadian yang tidak mengenakkan. Ia ditikam di bagian leher dengan sebilah pisau dapur. Kejadian ini membuat tangan kanan Mahfuz hampir mengalami kelumpuhan. Dua orang anggota kelompok militan yang terlibat dalam kejadian ini, divonis hukuman mati oleh pemerintah Mesir.
Pada masa tuanya, Najib Mahfuz hidup dengan mata yang hampir buta dan kemudian meninggal pada 30 Agustus 2006 setelah beberapa hari dirawat di rumah sakit.
Penghargaan :
- 1968 hadiah kesusastraan dari Pemerintah Mesir
- 1972 menerima Decoration of Republic of the 1st Order.
- 1988 menerima Collar of the Nile which is the highest order in Egypt.
- 1988 menerima anugerah Nobel Sastra dari Akademi Nobel Swedia
Diposting oleh
Muallaqat Forum
di
16.25
2
komentar
Kelahiran Kembali (Fudhul Thifl au Qadr al-Rajul)
Kemarin kudengar suaramu bertanya dari kamar sebelah: “Ma, saya ini orang Palestina, ya?” Begitu ibumu mengucapkan kata ya, senyap segera membahana ke segenap sudut ruangan.
Seakan seketika itu juga sebuah benda yang tadinya digantungkan di atas kita jatuh dan menimpa kepala. Berdebum. Lalu hening.
Setelah itu, aku tidak percaya lagi pada apa yang kudengar. Tapi aku percaya bahwa jemariku yang sedang memegang buku menggigil. Tidak. Semuanya telah terjadi secara mengenaskan: kudengar kamu menangis.
Tidak bisa aku beranjak. Sesuatu yang tidak kuketahui yang berasal dari senandungmu yang sukar dipahami sedang berada di kamar sebelah itu. Seperti malaikat yang tiba-tiba datang membelah dadamu dan meletakkan kembali hati yang kini menjadi milikmu.
Sementara pertanyaanmu yang tadi masih menggantung di langit-langit, kini giliran jemariku yang menggigil:
“Apakah saya orang Palestina juga?”
Kemudian malaikat yang memukul dengan gerakan secepat kilat dan tangkas turun seperti seorang ahli bedah yang terlatih: “Ya.” Suasana kembali senyap. Sebuah benda seperti baru saja terjatuh. Kemudian kudengar kamu menangis.
Walaupun melihat apa yang terjadi di ruangan sebelah itu, aku tetap tidak dapat beranjak dari tempat duduk. Meski demikian, aku tahu bahwa sebuah negeri yang jauh terlahir kembali. Di negeri itu ada hamparan tanah, ada kincir, kebun zaitun, dan ada pula mayat-mayat, bendera yang satu koyak-moyak sedang satu bendera lagi berkibar gagah. Bendera itu sedang menuju masa depannya yang terbuat dari gumpalan darah dan daging yang lahir pada pelukan seorang bocah.
Perasaan yang tidak kumengerti ini telah merasukiku semenjak lima tahun silam saat kamu dilahirkan. Aku sedang berdiri di sana menunggumu lahir ke dunia, dari alam yang tidak diketahui menuju alam yang juga antah-barantah. Tapi ketika kamu lahir tangisanmu lebih kudengar sebagai sebuah rintihan keras. Kamu jatuh tepat mengenai pundakku sehingga aku makin terperosok jauh ke dalam perut bumi.
Saat ini, aku sedang berada di kamar sebelah itu dan melihatmu lahir kembali. Aku merasa kembali kamu benamkan ke dalam tanah sehingga aku lebih jauh lagi terperosok karena pundakku kembali kamu injak. Oh andai waktu itu aku dapat melihat wajah kecilmu yang amat polos, dan melihat bagaimana jawaban ya itu turun seperti kutukan yang tak terelakkan. Bagaimana kepolosan itu begitu menguasaimu pada saat kamu sudah menjadi bocah yang tidak sadar akan jejaring yang terhampar di hadapan. Pada waktu itu, di hadapan kedua mata ibumu dan jemariku yang menggigil itu kamu seperti terbuat dari kertas. Ada orang yang memberimu senapan dan meletakkan matamu pada pelatuknya.
Di antara kamar kita, di samping ada dinding, terdapat suruk-suruk bumi yang merangkak seperti mitos dan kembali mempertautkan kita. Aku tidak sanggup beranjak dari tempatku, dan entah dengan cara bagaimana aku tahu bahwa kamu tidak bisa disentuh. Mengapa kamu menangis padahal kamu tidak ingin menangis? Aku percaya pada benda yang entah bagaimana dapat menjelmakan dirinya pada kata-kata tanpa seorang pun bisa tahu siapa dia sebenarnya.
Tanpa sadar, kamu pun merasakan kata-kata yang bermakna afiliatif dan kesengsaraan itu. Pekik kemenangan barangkali lebih memberimu makna daripada aku. Tahun-tahun yang merembes dari usiaku bergabung dengan usiamu. Meski tidak bernilai apa-apa, impianku dapat meresap dan membuat impianmu bertambah besar.
Kamu tentu merasakannya. Itu pasti. Kalau tidak, mengapa kamu menangis?
Aku masih ingat waktu duduk di kamar sebelah itu mendengarmu dilahirkan kembali melalui suara rintihan dan bagaimana aku juga kembali dilahirkan:
Waktu itu usiaku masih sepuluh tahun ketika konvoi mobil membawa kita melewati neraka pelarian. Aku belum tahu apa-apa. Tidak merasakan apa-apa. Aku senantiasa tergelincir tanpa sadar dalam kepolosan masa kecil. Namun, suatu kejadian yang tidak dapat aku lupakan menarik perhatianku waktu itu: truk-truk sudah berhenti. Lantaran keingintahuanku sebagai bocah yang berlebihan atau karena sudah takdir sebagai seorang laki-laki, aku menyusup ke tempat para lelaki berbaris yang kulihat sedang menyerahkan senjata di bawah parit agar setelah ini mereka bisa masuk ke dunia pengungsian dengan tangan tengadah. Aku kembali dengan wajah muram. Aku merasakan sesuatu yang tidak dapat aku pahami. Ibuku waktu itu sedang duduk-duduk dengan beberapa perempuan lain. Aku pun mendekati ibu layaknya sebuah tempat perlindungan.
Ibu bertanya: “Kamu kenapa?”
“Mereka menyerahkan senjata, bu.”
Seperti ibumu yang memberimu jawaban ya, ibuku juga memberiku jawaban ya. Semua diam. Sesuatu seperti jatuh. Di bawah tatapan matanya yang cerdik ia melihatku menangis.
Pada hari itulah aku kembali dilahirkan. Aku melihat para lelaki dengan pandangan yang tidak biasa. Hanya ibuku saja yang memandangku dengan cara yang tidak biasa.
Jangan percaya bahwa manusia itu tumbuh. Tidak. Ia dilahirkan secara tiba-tiba. Sebuah kata yang memiliki letupan baru menembus dadanya seketika. Hanya dalam satu adegan ia sudah terbang dari langit-langit masa kanak-kanak menuju jalan ke neraka.
Seperti kata ya yang pedih itu melahirkanku, kata ya yang lain juga melahirkanmu kembali. Aku bisa mendengar bagaimana kamu menyambutnya dengan jalinan sel seorang manusia yang terpancar dari alam antah barantah menuju alam yang antah barantah pula, dalam alunan suara yang selalu membuatmu terperangkap.
Apakah pertanyaanmu itu, seperti pertanyaanku dahulu, hanya bersifat keingintahuan sebagai seorang bocah ataukah sudah takdirmu sebagai laki-laki?
Ah, itu tidak penting.
=========================================================
Sastrawan yang bernama lengkap Ghassan Fayiz Kanafani ini dilahirkan di Yafa (Palestina) pada 9 April 1936. Di samping sebagai sastrawan ia juga dikenal sebagai jurnalis. Hidupnya banyak ia habiskan di pengungsian dan meninggal pada 8 Juli 1973 dalam usia 36 tahun di Beirut. Ia meninggal dalam serangan sebuah bom mobil yang tragis di depan rumahnya.
Cerpen ini telah dimuat di Riau Pos edisi Minggu, 13 Juli 2008
Diterjemahkan oleh: Misran
Read more...
Diposting oleh
Muallaqat Forum
di
11.16
1 komentar
Tanah yang Ditinggalkan
Itu malam yang berat untuk kita. Para perempuan berdoa, para lelaki terdiam dan resah. Kamu, aku, dan anak-anak lain tak paham apa yang terjadi, tapi pada malam itulah cerita demi cerita mulai terangkai.
Tentara Israel pergi dengan membekaskan ancaman dan sumpah serapah. Sebuah mobil besar berhenti di depan rumah kami dan barang-barang, termasuk kasur dan selimut dilemparkan ke dalamnya. Aku berdiri membelakangi dinding rumah tua itu saat melihat ibumu naik mobil itu, disusul adik ibumu, dan adik-adikmu yang lain. Kamu digendong ayahmu dan meletakkanmu di atas barang-barang milik keluargamu. Dengan cara yang sama ayahmu menggendongku di pundaknya. Aku diletakkan dalam kotak besi di atas mobil van itu. Di sana ada kakakmu, Riad, duduk membisu. Belum juga aku duduk dengan benar, roda mobil telah berputar. Kulihat dari jalan menanjak dan berkelok-kelok Akka semakin kecil kemudian hilang. Kami menuju Ra’ss-Ennakoura, perbatasan Libanon dan Palestina.
Langit saat itu mendung dan aku kedinginan. Riad yang masih membisu menaikkan kedua kaki ke atas kotak dan merapat ke perangkat di dekatnya. Kepalanya menengadah. Aku juga membisu seraya memeluk lutut dan menempelkan daguku. Sepanjang jalan banyak sekali pohon jeruk. Rasa takut dan kecemasan menyergap setiap orang. Mobil kami melewati tanah basah dengan susah payah. Dari kejauhan terdengar suara letusan-letusan senjata bagai ucapan perpisahan.
Di Ra’ss-Ennakoura mobil kami berhenti di antara begitu banyak mobil. Semua jenis senjata diserahkan pada polisi yang tengah bertugas. Saat giliran kami tiba sudah banyak senjata menumpuk di atas meja. Di belakang kami terlihat antrian panjang kendaraan besar yang hendak meninggalkan tanah oranye nun jauh menuju Libanon. Aku lebih dulu menangis meraung-raung. Ibumu masih juga menatap jeruk tanpa berkata apa-apa. Dalam sorot mata ayahmu ada tersimpan bayangan pohon-pohon jeruk yang terpaksa ditinggalkan untuk bangsa Israel. Semua pepohonan yang ditanamnya satu persatu terlintas di wajahnya. Sulit baginya menghentikan tangisan saat menghadap petugas. Kami adalah pengungsi di Saida, sebuah kota di Libanon Selatan.
Malam yang menakutkan pun datang. Aku ingin bermalam di trotoar, memenuhi jiwaku dengan mimpi-mipi buruk tanpa dicegah siapa pun. Aku tak menemukan tempat bersandar. Kebisuan ayahmu semakin menakutkan dan jeruk-jeruk dalam genggaman tangan ibumu serasa membakar dadaku. Setiap orang menatap jalan yang gelap seraya berharap ada jalan keluar yang akan membawa kami pada sebuah kepastian. Kedatangan pamanmu beberapa hari lebih awal adalah jawabannya.
Kami tak tinggal lama di Saida. Kamar pamanmu terlalu sempit bahkan untuk setengah anggota keluarga kami. Paling tidak, selama 3 hari kami di sana. Ibumu menyuruh ayahmu mencari pekerjaan atau kembali ke ladang jeruk. Ayahmu menangis lagi. Bergetar suaranya sambil marah. Masalah demi masalah dimulai. Kebahagiaan, ikatan keluarga yang erat, tinggal di sana dengan pohon-pohon jeruk, rumah lama, dan para pejuang. Entah darimana ayahmu mendapat uang. Aku tahu dia menjual perhiasan ibumu yang menjadi kebanggaan buatnya dan kebahagiaan ibumu. Tapi perhiasan saja tak bisa menyelesaikan masalah, harusnya ada yang lain. Sudahkah ayahmu membawa uang? Sudahkah dia jual semua harta tanpa sepengetahuan kami? Entahlah. Tapi aku ingat kita pindah ke pinggiran Saida. Di sana ayahmu duduk di atas batu yang tinggi dan tersenyum untuk pertama kalinya. Dia menunggu sampai tanggal 16 Mei untuk kembali dengan tentara yang menang.
Arak-arakan mobil hilang begitu saja lalu kami kembali dengan keadaan lelah dan kehabisan nafas. Ayahmu hanya membisu. Ketika cahaya mobil mengenai wajahnya, pipinya basah.
Setelah hari itu, hidup berputar dengan lambat. Kami yang tertipu dengan pengumuman itu kembali terhanyut dalam kenyataan pahit. Suram kembali muncul di hadapan. Ayahmu menyadari sulitnya membahas tentang Palestina atau hari-hari menyenangkan di ladang jeruk maupun di rumah. Kami adalah penahan kesedihannya dan paham makna di balik seruannya “Pergilah ke bukit dan jangan kembali sebelum tengah hari.” Itu caranya mengalihkan kami agar tak meminta sarapan.
Suatu ketika, ibumu dengan nalurinya mendorong kami keluar dari rumah dan menyuruh kami berlari di bukit. Kami hanya diam di dekat jendela dan menguping. Kami mendengar ayahmu berkata “Aku ingin menghabisi mereka lalu diriku sendiri. Aku ingin..ingin..mengakhirinya.”
Kami mengintip dari celah pintu lalu melihat ayahmu berbaring di atas lantai dengan nafas berat seraya menggeretakkan giginya. Ibumu melihat dari jauh dengan raut wajah takut. Awalnya aku tak tahu apa yang terjadi. Aku ingat begitu melihat pistol hitam di sisinya. Aku berlari sekencang-kencangnya seperti habis melihat hantu yang tiba-tiba muncul. Aku berlari ke bukit sejauh-jauhnya dari rumah. Kemudian kusadari aku telah jauh dari rumah dan jauh dari masa kanak-kanakku. Aku menyadari hidupku tak lagi sama. Tak ada yang mudah dan hidup bukan sesuatu yang mudah dicari.
Keadaan telah sampai pada pilihan yang ditawarkan seorang ayah pada anak-anaknya untuk diakhiri dengan satu tembakan di kepala. Mulai dari sekarang, berhati-hatilah melangkah, jaga sikap, dan dengarkan keluhan ayahmu. Jangan meminta makanan selapar apapun perutmu. Tunjukkan kepatuhan dengan mengangguk dan tersenyum ketika ayahmu berteriak “Pergilah ke bukit dan jangan kembali sampai siang nanti.” Di malam hari ayahmu masih gemetar karena demam. Ibumu ada di sisinya. Mata kami menyala-nyala seperti mata kucing dalam kegelapan. Bibir kami terkunci seakan tak pernah terbuka jika masih ada bekas luka lama.
Diposting oleh
Muallaqat Forum
di
11.07
0
komentar
Nyonya Iqbal
Mahmud Taymur (Mesir)
Begitu mereka berhadapan, laki-laki itu menyambutnya dengan kata-kata kasar dan sikap kesal. Umi Labiba langsung menyampaikan pesan majikannya. Si kusir bertambah gusar dengan mulai mengutuk dan menyumpahinya. Kusir kereta itu sangat marah dan merasa berhak melakukannya. Enam kali sudah didengarnya Nyonya Iqbal mengunjungi "teman-teman dekatnya." Jumlah utang nyonya itu kini mencapai 300 piaster. Sampai hari ini dia belum membayar satu piaster sekalipun. Kusir kereta kuda itu memiliki seorang istri dan anak yang tak pernah memperoleh makanan dan pakaian yang layak. Sangat wajar jika ia marah. Sudah enam kali datang dia hanya disambut dengan janji belaka.
Laki-laki itu pun berlalu seraya terus berteriak mengumpat yang terdengar sampai ke seisi rumah. Ia mengingatkan sore nanti seluruh upahnya harus dibayar. Di dalam kamarnya, Nyonya Iqbal tak mempedulikan segala sesuatu yang terjadi di sekelilingnya. Ia bercermin kemudian mengikat rambutnya. Dia mencari kotak kosmetik kemudian mulai memoles wajah keriputnya.
Nyonya Iqbal berumur 38 tahun. Di masa muda dia seorang gadis yang memiliki dua hal penting, kecantikan dan tata krama. Di usia 18 tahun perempuan itu menikah dengan seorang penjudi serta pemabuk. Selama delapan tahun mereka tinggal bersama. Setelah itu Nyonya Iqbal ditinggalkan suaminya yang semakin tenggelam dengan kebiasaan buruknya. Menginjak usia 20 tahun dia resmi menjadi janda. Hingga akhir hayat, suaminya hanya mewariskan seluruh kebiasaan buruk saja. Nyonya Iqbal ikut terlibat pada hal-hal mesum dan tak bermoral. Saat masih belia, sang suami membawanya ke dalam kesenangan semu, bahkan dengan sengaja menjerumuskannya pada kebusukan. Laki-laki itu membujuknya, lebih tepat mengubahnya menjadi seorang pemabuk dan pecandu obat-obatan terlarang. Dia juga menawarkan tubuh sang istri pada teman-temannya.
Suami Nyonya Iqbal meninggal dengan mewariskan penderitaan yang sempurna pada perempuan muda ini. Dia juga membekaskan kesedihan, rasa malu, serta penyakit dalam tubuh istrinya. Baru berusia 38 tahun Nyonya Iqbal sudah terlihat setua perempuan berusia 58 tahun. Tubuhnya kurus. Wajahnya terlihat muram. Kulitnya kuning pucat. Penderitaannya terpancar pada kantong di bawah kedua matanya. Gadis yang dulu cantik mempesona telah berubah menjadi seorang penjudi tua dan sakit-sakitan. Kecanduan semua jenis minuman dan obat-obatan, seperti alkohol dan kokain.
Nyonya Iqbal memiliki seorang anak berusia tujuh tahun. Tak jelas siapa ayahnya, tapi jelas dia dibesarkan di tengah penderitaan dan melewati masa kecil di lingkungan yang bejat.
Nyonya Iqbal benar-benar putus asa. Kecantikannya telah luntur sampai setiap lelaki tak menginginkannya. Hari demi hari, bahkan jam demi jam dia hanya memejamkan mata menanti masa depan.
Nyonya Iqbal mendengar teriakan kusir kereta itu. Dia hanya tersenyum dan mengacuhkannya. Umi Labiba masuk lalu berkata bahwa laki-laki itu berusaha mengacaukan ketenangan "Harem" ini dengan sumpah serapahnya. Nyonya Iqbal menjawab pelan, “Kau ingin aku melakukan apa? Aku tak punya uang sepeser pun."
Kusir kereta itu berhasil mendobrak pintu dan menyerbu masuk ke dalam harem suci. Ia masuk ke ruang tamu sambil meneriakkan tagihannya. Umi Labiba tergesa menghampiri dan memaki kenekatan kusir itu. Dia berusaha menghentikan langkah lelaki itu dan hendak mengusirnya pergi. Hampir lima belas menit keduanya saling mencaci-maki. Akhirnya si pelayan yakin tak mungkin menghentikan kehendak laki-laki itu. Dia pun berteriak mencari pertolongan majikannya.
Seketika itu pula pintu kamar Nyonya Iqbal terbuka. Dia berdiri di sana mengenakan gaun malam tipis serta bertelanjang kaki. Masih juga dia bertanya dengan polosnya. "Apa yang terjadi, Umi Labiba?" Kusir kereta itu tak mau memberi kesempatan Umi Labiba menjawab pertanyaan majikannya. Dengan gusar dia memperingatkan Nyonya Iqbal agar segera melunasi utang-utangnya. Dengan suara lembut tanpa rasa bersalah dia menjawab, "O, kenapa harus melakukan semua ini? Kemarilah, ini ambil upahmu." Kusir kereta itu terperanjat. Dia menatap perempuan itu dengan tajam. Dalam hati dia berusaha menebak-nebak kebenaran ucapan barusan.
Nyonya Iqbal menangkap kegamangan laki-laki itu. Dia mendekat lalu menggandeng pria itu. Akan dibawanya masuk ke dalam kamarnya. Si kusir semakin heran dan tak tahu apa yang harus dilakukannya. Nyonya Iqbal kembali berkata, "Kemarilah, ambil upahmu. Kenapa tak mau masuk? Orang asingkah kau?”
Kusir bernama Sahatta itu pun ikut masuk ke dalam kamar. Nyonya Iqbal menggenggam tangannya lebih erat. Menuntunnya seperti seorang tahanan. Sahata telah berusia 58 tahun, tapi seumur hidup tak pernah belajar apa pun selain mengendarai kereta. Awalnya dia bekerja dan tinggal di sebuah istal. Menyapu lantai, membersihkan kotoran, mencuci kereta, serta memandikan kuda-kudanya. Kemudian dia dipromosikan sebagai kusir yang bisa duduk di kursi kereta yang tinggi, mengenakan jas, serta jaket yang mirip seragam para pedagang. Penghasilannya dari mengendarai kereta kuda tak pernah cukup untuk makan istri dan kelima anaknya. Istrinya yang sakit-sakitan tak bisa memperoleh perawatan memadai.
Sahatta berkulit gelap, berjenggot kelabu yang dicukur hanya saat memiliki cukup uang. Dari perawakan sampai pakaiannya lusuh. Jari-jari kakinya mengintip dari ujung sepatu yang berlubang. Celananya dikencangkan dengan selendang merah yang lusuh. Kepalanya memakai tarbus berhias pita hitam tanpa kancing. Meski tanda-tanda kemiskinan meliputi seluruh pikiran sampai pakaiannya, Sahatta masih percaya dengan “keberuntungan” dan sekuat tenaga akan diwujudkannya.
Ketika duduk di kursi kusir, kau bisa mendengarnya menyenandungkan lagu-lagu cinta atau nyanyian-nyanyian jenaka. Ketika seorang wanita cantik satu kasta melintas di depan keretanya, serta-merta Sahatta mengangkat tarbus dan menggoyangkan sepatu compang-campingnya. Tak lupa tersenyum disertai lirikan nakal lalu berseru, “Manisku! Manisku! Jangan cepat-cepat! Hatiku terbakar!”
Dia sering juga melihat para wanita kelas tinggi mengenakan kerudung hitam tipis atau barqa tipis yang menampakkan raut wajah mereka. Dia akan menatap mereka dengan genit, sembari berbisik, “Tak akan ada yang kusisakan...”
Jika penumpangnya sepasang kekasih yang tengah kasmaran. Sahatta bisa mendengar suara bisikan, ciuman, atau gerakan sepasang kekasih yang tengah bercinta. Gairahnya pun bangkit tapi satu sisi dia merutuki keadaan istrinya. Sahatta merasakan gejolaknya berkobar-kobar, tapi tak tempat ada pelampiasan. Hanya ada kuda-kuda kurus yang lelah. Alhasil dia menghujani mereka dengan cambukan dan sumpah serapah.
Sahata memasuki kamar tanpa kunjung tahu maksud perempuan itu. Apakah Nyonya Iqbal serius atau tidak. Sahata mencium wangi bedak dan parfum memenuhi ruangan itu. Kegelisahannya memudar. Matanya kehilangan pendar iblisnya. Dia mulai mengamati tubuh perempuan itu saat mondar-mandir mencari kunci kotak penyimpanan uang. Perempuan itu membuka kotak lalu mengosongkan isinya sebagai bayaran yang dijanjikan. Sahata menatapnya penuh nafsu. Dia tertawa lebar menampakkan kebinatangannya.
Sahata belum pernah berada dalam satu ruangan dengan seorang wanita putih berkelas borjuis aristokrat apalagi mendapatinya hanya dengan busana tipis. Satu-satunya perempuan tak lain istrinya sendiri yang pincang. Kulitnya berwarna coklat, temperamental, berbaju biru lusuh, dan kerudung koyak warna hitam. Apa pernah dia melihat seorang wanita ramping yang lekuk-lekuk tubuhnya hanya terbungkus gaun malam tipis? Menampakkan sepasang kaki ramping nan lembut. Kulit putih kemerah-merahan. Raut wajah rupawan, dan mata yang memikat. Sepanjang hidup tak pernah dia menyaksikan kaki semacam itu. Poni yang jatuh di kening. Payudara yang begitu menonjol.
Pada saat itu, Sahata tidak melihat Nyonya Iqbal seperti hari-hari sebelumnya. Bertubuh kurus, berwajah pucat, dan mata lebam yang selalu tersamar bedak. Ditambah lagi senang melontarkan bujuk rayu menggoda. Sosok di hadapannya sekarang adalah gadis impiannya. Gadis berkulit putih yang menyembunyikan parasnya di bawah kerudung hitam transparan atau barqa putih yang tipis. Serupa dengan gadis di kereta yang terdengar tawanya dengan pinggul bergoyang dan desahan bernada suara merdu memikat melengkapi kesedihannya. Nyonya Iqbal mendekatinya lalu berkata dengan lembut, “Hari ini aku tak punya uang. Bisakah kau kembali besok?”
Dia menatap Sahatta dengan memelas dan genit merayu. Sahata menangkap maksud perempuan itu lalu menyahut, “Aku tidak akan meninggalkan tempat ini, nyonya. Seperti kata pepatah, “Merpati tak pernah masuk lewat jalan yang sama dengan jalan keluarnya.” Nyonya Iqbal tersenyum. Dia tahu apa yang ada di benak laki-laki itu. Dengan cepat dia menjatuhkan diri ke dalam pelukan Sahatta tanpa mempedulikan kelusuhan dan bau lelaki itu. Dia mencium bibir lelaki itu dengan ciuman memabukkan seolah sanggup membuat Sahatta pingsan.
Jamal, putra Madam Iqbal yang baru tujuh tahun usianya, pulang ke rumah. Dari lubang kunci dia mengintip ke dalam kamar ibunya lalu terbahak-bahak. Dia berlari dan berpapasan dengan Umi Labiba. Kepalanya mendekat pada pelayannya itu. Dengan suara kekanakan dia membisikkan rahasia di dalam kamar ibunya. Rahasia tentang penghapusan utang sang kusir dengan mengagumkan dan mudah.
Diposting oleh
Muallaqat Forum
di
10.32
0
komentar

