Selasa, 26 Agustus 2008

Tanah yang Ditinggalkan

Ghassan Kanafani (Palestina)

Saat meninggalkan Java menuju Akka, aku tak merasa sedih. Hanya seperti pindah dari satu kota ke kota lain untuk berlibur. Dalam beberapa hari, tak ada hal-hal sedih yang terjadi. Aku senang karena tak perlu ke sekolah. Banyak hal mulai terlihat berbeda setelah Akka diserang tentara Israel.

Itu malam yang berat untuk kita. Para perempuan berdoa, para lelaki terdiam dan resah. Kamu, aku, dan anak-anak lain tak paham apa yang terjadi, tapi pada malam itulah cerita demi cerita mulai terangkai.

Tentara Israel pergi dengan membekaskan ancaman dan sumpah serapah. Sebuah mobil besar berhenti di depan rumah kami dan barang-barang, termasuk kasur dan selimut dilemparkan ke dalamnya. Aku berdiri membelakangi dinding rumah tua itu saat melihat ibumu naik mobil itu, disusul adik ibumu, dan adik-adikmu yang lain. Kamu digendong ayahmu dan meletakkanmu di atas barang-barang milik keluargamu. Dengan cara yang sama ayahmu menggendongku di pundaknya. Aku diletakkan dalam kotak besi di atas mobil van itu. Di sana ada kakakmu, Riad, duduk membisu. Belum juga aku duduk dengan benar, roda mobil telah berputar. Kulihat dari jalan menanjak dan berkelok-kelok Akka semakin kecil kemudian hilang. Kami menuju Ra’ss-Ennakoura, perbatasan Libanon dan Palestina.

Langit saat itu mendung dan aku kedinginan. Riad yang masih membisu menaikkan kedua kaki ke atas kotak dan merapat ke perangkat di dekatnya. Kepalanya menengadah. Aku juga membisu seraya memeluk lutut dan menempelkan daguku. Sepanjang jalan banyak sekali pohon jeruk. Rasa takut dan kecemasan menyergap setiap orang. Mobil kami melewati tanah basah dengan susah payah. Dari kejauhan terdengar suara letusan-letusan senjata bagai ucapan perpisahan.
*
Kami sampai di Ra’ss-Ennkoura. Mobil kami berhenti. Para perempuan turun lalu menemui para petani yang meratap seraya berjongkok di depan keranjang jeruk mereka. Aku baru tahu kalau buah-buahan besar berwarna oranye itu sangat berarti bagi mereka, dan juga kami. Para perempuan membeli jeruk kemudian naik kembali ke mobil. Ayahmu berpindah tempat dari sisi supir untuk meraih sebutir jeruk dan menatapnya. Tiba-tiba dia menangis pilu seperti anak kecil.

Di Ra’ss-Ennakoura mobil kami berhenti di antara begitu banyak mobil. Semua jenis senjata diserahkan pada polisi yang tengah bertugas. Saat giliran kami tiba sudah banyak senjata menumpuk di atas meja. Di belakang kami terlihat antrian panjang kendaraan besar yang hendak meninggalkan tanah oranye nun jauh menuju Libanon. Aku lebih dulu menangis meraung-raung. Ibumu masih juga menatap jeruk tanpa berkata apa-apa. Dalam sorot mata ayahmu ada tersimpan bayangan pohon-pohon jeruk yang terpaksa ditinggalkan untuk bangsa Israel. Semua pepohonan yang ditanamnya satu persatu terlintas di wajahnya. Sulit baginya menghentikan tangisan saat menghadap petugas. Kami adalah pengungsi di Saida, sebuah kota di Libanon Selatan.
*
Perjalanan merampas waktu yang kita miliki. Tiba-tiba ayahmu menjadi lebih tua seolah lama tak tidur. Dia berdiri di antara barang bawaan yang telah dipindahkan ke sisi jalan. Kalau aku ingin berkata sesuatu dia akan langsung memakiku dan ayahku tanpa menahannya. Aku yang dididik di sekolah konservatif Katolik meragukan Tuhan akan meringankan bebannya. Aku ragu Tuhan Maha Melihat dan Mendengar. Di semua gambar berwarna yang melukiskan betapa Dia mencintai dan tersenyum untuk anak-anak sama seperti kebohongan yang dibuat pihak pembangun sekolah demi meraup keuntungan sebesar-besarnya. Aku yakin Tuhan meninggalkan Palestina lalu mengungsi ke tempat lain di dunia ini. Tak mampu menyelesaikan masalah-Nya sendiri. Dan para pengungsi seperti kami duduk di jalan setapak menunggu suratan takdir. Kami harus menemukan jalan keluar sendiri dari kepala kami sendiri. Penderitaan pun mulai merayap ke dalam kepala bocah ingusan.

Malam yang menakutkan pun datang. Aku ingin bermalam di trotoar, memenuhi jiwaku dengan mimpi-mipi buruk tanpa dicegah siapa pun. Aku tak menemukan tempat bersandar. Kebisuan ayahmu semakin menakutkan dan jeruk-jeruk dalam genggaman tangan ibumu serasa membakar dadaku. Setiap orang menatap jalan yang gelap seraya berharap ada jalan keluar yang akan membawa kami pada sebuah kepastian. Kedatangan pamanmu beberapa hari lebih awal adalah jawabannya.
*
Pamanmu bukan siapa-siapa saat menemukan dirinya tak terurus di jalan. Dia mendatangi sebuah keluarga Yahudi, membuka pintu kemudian memporak-porandakan seisi ruangan lalu menangis di hadapan mereka, “Pergilah ke Palestina.” Tapi keluarga itu tak menurutinya meski takut dengan sikapnya. Mereka hanya pergi ke ruangan lain dan meneruskan hidup. Pamanmu menunjukkan ruangan tempat kami tinggal berdesak-desakan dengan keluarga dan barang-barangnya. Kami tidur di lantai berselimutkan mantel. Pagi harinya kami terbangun dan melihat para lelaki masih duduk di kursi. Lalu tragedi mulai menyergap kami.

Kami tak tinggal lama di Saida. Kamar pamanmu terlalu sempit bahkan untuk setengah anggota keluarga kami. Paling tidak, selama 3 hari kami di sana. Ibumu menyuruh ayahmu mencari pekerjaan atau kembali ke ladang jeruk. Ayahmu menangis lagi. Bergetar suaranya sambil marah. Masalah demi masalah dimulai. Kebahagiaan, ikatan keluarga yang erat, tinggal di sana dengan pohon-pohon jeruk, rumah lama, dan para pejuang. Entah darimana ayahmu mendapat uang. Aku tahu dia menjual perhiasan ibumu yang menjadi kebanggaan buatnya dan kebahagiaan ibumu. Tapi perhiasan saja tak bisa menyelesaikan masalah, harusnya ada yang lain. Sudahkah ayahmu membawa uang? Sudahkah dia jual semua harta tanpa sepengetahuan kami? Entahlah. Tapi aku ingat kita pindah ke pinggiran Saida. Di sana ayahmu duduk di atas batu yang tinggi dan tersenyum untuk pertama kalinya. Dia menunggu sampai tanggal 16 Mei untuk kembali dengan tentara yang menang.
*
Tanggal yang dinanti-nantikan telah tiba. Tepatnya pukul 12 dia membangunkanku dengan kakinya dan berkata dengan suara menggelegar “Bangun! Lihatlah pasukan Arab memasuki Palestina!” Aku terjaga dalam hiruk-pikuk dan kami berlari bertelanjang kaki sepanjang bukit di tengah malam hingga mencapai jalan satu kilometer jauhnya dari perkampungan. Kami semua berlari terengah-engah seperti tak punya akal. Cahaya lampu terlihat menyorot kami dari kejauhan dari arah Ra’ss-Ennakoura. Saat mencapai jalan utama, kami kedinginan tapi teriakan keras ayahmu mengusirnya begitu saja. Dia berlari menyambut mobil-mobil itu seperti anak kecil. Tangannya melambai dan suaranya terdengar putus-putus karena belum mengambil nafas. Dia tetap berlari. Kami pun melakukan hal yang sama. Dari balik helmet para prajurit itu melihat kami tanpa bereaksi apa-apa. Kami semua kekelahan tapi ayahmu yang telah berusia 55 tahun tetap saja berlari. Dia melemparkan rokok kepada para tentara dan kami masih mengikutinya seperti kumpulan kambing

Arak-arakan mobil hilang begitu saja lalu kami kembali dengan keadaan lelah dan kehabisan nafas. Ayahmu hanya membisu. Ketika cahaya mobil mengenai wajahnya, pipinya basah.

Setelah hari itu, hidup berputar dengan lambat. Kami yang tertipu dengan pengumuman itu kembali terhanyut dalam kenyataan pahit. Suram kembali muncul di hadapan. Ayahmu menyadari sulitnya membahas tentang Palestina atau hari-hari menyenangkan di ladang jeruk maupun di rumah. Kami adalah penahan kesedihannya dan paham makna di balik seruannya “Pergilah ke bukit dan jangan kembali sebelum tengah hari.” Itu caranya mengalihkan kami agar tak meminta sarapan.
*
Keadaan memburuk. Satu isu kecil sanggup memicu kemarahan ayahmu. Aku ingat ketika salah satu dari kita bertanya sesuatu dan dia langsung terlonjak kaget bagai tersengat listrik lalu mengalihkan pandangan dari kami. Sebuah ide konyol mengganggu pikirannya. Dia seolah menemukan jawaban atas dilemanya. Di luar perkiraan bahwa dia cukup kuat mengakhiri kesedihan, di luar perkiraan ketakutan mendatangkan musibah. Dia mulai meracau. Membalikkan badan seolah mencari sesuatu yang tak bisa kami lihat. Melompat ke dalam kotak yang dibawa dari Akka lalu mengacak-cak isinya dengan histeris.

Suatu ketika, ibumu dengan nalurinya mendorong kami keluar dari rumah dan menyuruh kami berlari di bukit. Kami hanya diam di dekat jendela dan menguping. Kami mendengar ayahmu berkata “Aku ingin menghabisi mereka lalu diriku sendiri. Aku ingin..ingin..mengakhirinya.”

Kami mengintip dari celah pintu lalu melihat ayahmu berbaring di atas lantai dengan nafas berat seraya menggeretakkan giginya. Ibumu melihat dari jauh dengan raut wajah takut. Awalnya aku tak tahu apa yang terjadi. Aku ingat begitu melihat pistol hitam di sisinya. Aku berlari sekencang-kencangnya seperti habis melihat hantu yang tiba-tiba muncul. Aku berlari ke bukit sejauh-jauhnya dari rumah. Kemudian kusadari aku telah jauh dari rumah dan jauh dari masa kanak-kanakku. Aku menyadari hidupku tak lagi sama. Tak ada yang mudah dan hidup bukan sesuatu yang mudah dicari.

Keadaan telah sampai pada pilihan yang ditawarkan seorang ayah pada anak-anaknya untuk diakhiri dengan satu tembakan di kepala. Mulai dari sekarang, berhati-hatilah melangkah, jaga sikap, dan dengarkan keluhan ayahmu. Jangan meminta makanan selapar apapun perutmu. Tunjukkan kepatuhan dengan mengangguk dan tersenyum ketika ayahmu berteriak “Pergilah ke bukit dan jangan kembali sampai siang nanti.” Di malam hari ayahmu masih gemetar karena demam. Ibumu ada di sisinya. Mata kami menyala-nyala seperti mata kucing dalam kegelapan. Bibir kami terkunci seakan tak pernah terbuka jika masih ada bekas luka lama.
*
Kami berbondong-bondong meninggalkan masa kanak-kanak jauh dari ladang jeruk. Kata seorang petani, jeruk akan mati jika ada orang asing menyiram pohonnya. Ayahmu masih terbaring sakit di atas tempat tidurnya. Air mata ibumu tak pernah berhenti menetes. Aku menyelinap masuk seperti penjahat. Saat melihat wajah ayahmu bergetar marah, kulihat juga pistol hitam yang sama tergeletak dekat sebutir jeruk di atas meja.

0 komentar:

Posting Komentar