Jumat, 19 September 2008

MOMEN PERTEMUAN MAHFOUZ DAN COELHO

Hal pertama yang diucapkan penerima Nobel Naguib Mahfouz pada sabahatnya Paulo Coelho dari Brazil adalah, “Jenggot Anda sama seperti jenggot saya.” Kemudian Coelho menjawab, “Sama warnanya, abu-abu.” Keduanya tertawa dan itulah mencairkan kebekuan diantara mereka.

Kedua penulis itu telah mencapai capaian literer yang tinggi. Mahfuz menggambarkan nasionalisme yang begitu dalam sehingga dapat memilah makna universalnya, sementara Coelho membebaskan diri dari pembatasan manusiawi, terutama seputar pencarian diri yang tersimbolisasikan dalam The Alchemist. Novel itu menceritakan harta karun yang membawa tokohnya berpetualang dari Spanyol sampai ke Gurun Mesir.

Inilah isi perbincangan keduanya:

“Novel-novel Anda sangat menghanyutkan saya. Berbeda sekali saat saya membaca novel lainnya.” Ujar Coelho.

Mahfoudz menjawab, “Anda berhasil mempengaruhi dunia dengan karya-karya Anda. Karya Anda diterjemahkan ke dalam 56 bahasa dan terjual lebih dari 60 juta eksemplar. Itu artinya para pembaca Anda ada sekitar…”

Coelho memotong, “Anda sudah meraih Nobel, saya belum.”
Mahfoudz menyahut dengan nada serius, “Naluri saya mengatakan Anda akan mendapatkannya. Semua kriteria sudah Anda miliki dan yang lebih penting, novel Anda itu humanis. Bernilai cinta dan perdamaian manusia, selain juga berhasil mempengaruhi persepsi pembaca.”

Coelho tertawa dengan penuh penghargaan. “Akan saya sampaikan pada komite Nobel sebagai bentuk pencalonan saya jika memang pemenang Nobel dapat menominasikan penulis lain.”

Mahfoudz menjawab, “Saya biasa menerima surat dari Komite yang menanyakan nominasi untuk Nobel Sastra, tapi tak pernah saya tanggapi. Mereka akhirnya menyerah dan tak pernah lagi mengirimkan surat seperti itu.”
“Mengapa Anda tidak pernah mengajukan nominasi Anda sendiri?” Tanya Coelho.
“Penghargaan itu bukan atas nama pribadi. Biarkan saja lembaga yang berwenang melakukannya. Jadi para nominasi juga menerima hadiah yang sepantasnya.

Ada satu pertanyaan saya (penerj: Muhammad Salmawy) untuk Coelho: “Anda mengatakan sudah membaca seluruh novel terjemahan Mahfoudz dalam bahasa Portugis. Menurut Anda, apakah ada kesamaan dengan novel-novel Anda?”
“Kami berdua cenderung membangun jembatan kemanusiaan dengan membangkitkan ketertarikan terhadap manusia ketimbang menyoroti ide-ide abstrak, doktrin, maupun ideologi. Misalnya, bagi saya pribadi, hal terpenting saat mengunjungi negara lain adalah mengenal masyarakat lokal. Jika saya diminta memilih antara musium dengan kafe. Saya pilih kafe.” Jelas Coelho. Dia kemudian melanjutkan, “Kafe juga tempat favorit Mahfouz karena alasan yang sama. Dia menjelajahi seluruh pelosok Kairo selama bertahun-tahun dengan berjalan kaki. Dia selalu mengatakan tak pernah sempat lagi membaca, tapi ada seorang teman psikiater yang menceritakan novel The Alkhemist dengan begitu rinci seolah-olah dia telah membacanya. Apa yang mengusik rasa ingin tahunya adalah gagasan tokoh mencari harta karun.”

“Saya sudah membaca novel The Road. Saya merasa tersindir karena novel itu juga seputar pencarian, tapi pencarian ayah. Sebuah pencarian yang lebih nyata, pencarian jati diri, pencarian yang sama dengan posisi tokoh saya.” Ujar Coelho.

“Masing-masing manusia memiliki harta karun yang ditemukan dari sebuah pencarian panjang.” Ujar Mahfouz.

“Harta karun yang terpendam dalam diri manusia.” Tambah Coelho.
“Itulah harta karun sebenarnya, ketika ditemukan takkan mungkin hilang.” Jawab Mahfouz.
“Pernahkah tema ini muncul dalam tulisan Anda?” Tanya Coelho.
“Pencarian seperti ini terdapat dalam novel Ibn Fattouma’s Journey.” Jawab Mahfouz.
“Saya harus membaca novel itu karena saya menyukai tulisan Anda yang memuat kedalaman psikologis yang unik. Satu ciri penulis besar.” Puji Coelho.
Mahfuz terdiam seraya mencari kalimat untuk membalas pujian tersebut.

Pada saat itulah, Coelho menjawab pertanyaan saya (penerj: Muhammad Salmawy): "Anda ingin mengetahui kesamaan dari kami berdua. Keputusan tersulit yang harus dibuat seorang penulis adalah menjadikan menulis sebagai pekerjaan utama. Keputusan itu membutuhkan kemantapan hati sebelum memasuki sebuah kehidupan yang terpencil. Inilah alasannya saya tetap berdiskusi dengan banyak orang setiap kali saya mendapatkan kesempatan itu. Saya paham Mahfouz juga berada di posisi itu.”

Mahfouz pun berkata, "Saya tetap menemui teman-teman saya seminggu sekali, meski kondisi kesehatan tidak memungkinkan. Jika tidak niscaya hidup saya sangat menyedihkan."

Coelho melihat sebungkus rokok di saku Mahfuz lalu berkomentar, "Saya senang Anda masih bisa merokok." Mahfuz menjawab dengan raut sedih, "Dokter hanya mengijinkan 2 batang setiap hari."

Coelho yang sanggup menghabiskan 10 batang rokok setiap hari di usia 58 tahun mengatakan bahwa seorang pria berusia 93 tahun seperti Mahfouz membuatnya optimis. Keduanya kembali tertawa

Soal perbedaan tulisannya dengan Mahfouz, Coelho menjawab, “Saya tidak tahu. Mungkin Mahfouz telah menulis lebih dari 40 novel sementara saya hanya menulis seperempatnya.

Coelho menanyakan pada Mahfouz mengapa belum juga menulis autobiografi. Lalu dijawab, “Saya lebih memilih menulis novel.” Coelho lalu menanyakan soal Echoes of Authobiography yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Mahfouz menjawab, “Hanya gemanya saja. Autobiografi saya sama sekali tidak menarik, dan saya juga tidak mau menulisnya.”

Menurut Mahfouz, ada perbedaan antara tulisannya dengan tulisan Coelho dengan kembali menekankan bahwa dia belum membaca buku itu secara langsung. “Bedanya adalah kesederhanaan dari kedalaman ceritanya

Coelho juga menambahkan bahwa itu adalah ambisinya mencapai kedeserhanaan dan komplikasi misterius di balik sebuah gurun.

Sebelum berpisah, Coelho menatap Mahfouz lalu mengatakan, “Pertama kali saya datang ke mesir pada tahun 1978. Saya menyentuh Piramida. Ketika kembali ke Brazil, ide untuk The Alchemist hadir dalam benak saya dan langsung saya tuangkan ke dalam tulisan. Ini kunjungan kedua saya dan sangat berarti. Sama halnya ketika terinspirasi dengan Piramida.”

Coelho lalu membubuhkan tanda tangannya pada novel The Alchemist versi bahasa Arab terbitan Beirut disertai kata-kata: "Untuk sosok yang telah mengajarkan banyak hal." Buku itu dihadiahkan untuk Mahfouz. Sebagai balasannya, Mahfouz memberikan buku terbarunya, Dream Recuperation, versi bahasa Perancis. Ketika Coelho menunduk dan berusaha mencium tangan Mahfouz setelah membubuhkan tanda tangan, Mahfouz cepat-cepat menarik tangannya dan membungkukkan badan sebagai penghormatan.

================
Sumber : al-Ahram Weekly 2 - 8 June 2005 Issue No. 745
Ditulis oleh : Muhammad Salmawy, seorang wartawan harian al-Ahram Mesir yang sering menemani Mahfuz menemui tamu-tamunya dari luar negeri.
Diterjemahkan dari You Have Grown Your Beard oleh Muallaqat Forum.
Editor: Nisrina Lubis


Read more...

Senin, 15 September 2008

Serba-serbi Wawancara dengan Mahfuz

Dalam satu kesempatan tatap muka dengan Najib Mahfuz, Nadine Gordimer - penerima Nobel sastra tahun 1991- menyebutkan bahwa Mahfuz merupakan salah satu bakat kreatif terbesar dalam khasanah novel dunia. Komite Nobel Sastra pun menyatakan, "Posisi Najib Mahfuz sebagai juru bicara prosa Arab tak tersaingi oleh siapa pun. Dia berhasil mencapai standar keunggulan internasional melalui karya-karyanya yang berisi potret tradisi Arab klasik, inspirasi Eropa, sampai gaya artistik individual.”

Najib Mahfuz menerima Nobel Sastra tahun 1988. Melalui 41 karya (yang telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa), Mahfuz disebut-sebut telah memperkaya peradaban manusia, baik di negerinya maupun secara global. Hal paling menakjubkan seputar Mahfuz terletak pada ketekunan, disiplin, dedikasi, dan kerja kerasnya selama lebih dari setengah abad. Ini pun ditegaskan juga oleh seorang profesor Sastra Prancis sekaligus kritikus sastra asal Mesir Amina Rachid, “Selain seluruh prestasinya, kekaguman saya akan Mahfuz terletak pada dua hal, kerja keras dan ketekunannya.”

Mahfuz meninggal dunia pada tanggal 30 Agustus 2006 setelah sempat dirawat selama beberapa hari di rumah sakit. Roger Allen - seorang profesor sastra Arab dari Pensylvania University sekaligus penerjemah beberapa karya Mahfuz - berkata dengan sedih, “Hari yang kita takutkan akhirnya tiba. Najib Mahfuz, seorang sastrawan Mesir yang luar biasa, penerima Nobel Sastra tahun 1988, novelis, intelektual, humanis, seorang yang beriman, dan selalu menunjukkan keramahannya, telah pergi dari kehidupan kita. Dia telah berada di kedamaian abadi, Allah yarhamuh.” Meski demikian, seseorang penulis besar tak akan pernah mati. Tulisan-tulisannya akan terus dikaji. Sosoknya akan terus dikenang. Kata-katanya akan terus bergema menembus batasan ruang dan waktu persis seperti ucapan seorang sastrawan Indonesia, Pramudya Ananta Toer, “Menulislah, karena dengan menulis kau mencipta keabadian.”

Untuk mengenang satu tahun wafatnya Mahfuz, Muallaqat Forum Jogjakarta berinisiatif mengumpulkan sejumlah wawancara media maupun personal bersama Najib Mahfuz. Sebagian besar materi wawancara diperoleh melalui situs surat kabar di Mesir, Al-Ahram. Sisanya dikompilasikan dari situs-situ lain serta kontribusi beberapa kolega (www.al-ahramweekly.org dan www.nobel.org).

Kompilasi kutipan wawancara dibagi ke dalam beberapa kategori, antara lain: kesusastraan, proses kreatif, pencapaian, agama, serta kemanusiaan. Kompilasi ini diharapkan dapat berguna bagi pada pengkaji, peminat, dan penikmat kesusastraan Arab dalam menyelami pemikiran Najib Mahfuz tak hanya sebatas tulisan-tulisannya, tapi juga gagasan-gagasan lisan. Selamat membaca!




TENTANG NOBEL

Berikut ini adalah petikan wawancara Muhammad Salmawy (editor sastra surat kabar Al-Ahram, Mesir) dengan Mahfuz seputar kesan-kesannya setelah menerima Nobel Sastra tahun 1988.

Salmawy: Apa yang mendorong Anda menjadi penulis dan siapa saja yang menginspirasikan karier Anda?

Mahfuz: Saya mulai menulis ketika masih sekolah. Saya terinspirasi oleh para penulis Arab kontemporer seperti El-Manfalouti, Taha Hussein, dan El-Aqqad. Mereka seolah mengalirkan gairah menulis pada saya. Oleh karena itu, saat duduk di bangku di sekolah menengah, saya memutuskan pindah dari kelas IPA ke kelas sastra.
Salmawy: Apa yang Anda rasakan begitu mengetahui bahwa Anda memperoleh Nobel Sastra?

Mahfuz: Saya merasa sangat bahagia sekaligus terkejut. Saya tak pernah menyangka akan mendapatkannya. Selama ini Nobel selalu diberikan pada para penulis kaliber, seperti Anatole France, Bernard Shaw, Ernest Hemingway, William Faulkner, Jean-Paul Sartre dan Albert Camus. Saya juga pernah mendengar bahwa suatu saat nanti seorang penulis Arab akan memperoleh Nobel, tapi saya meragukannya.
Salmawy: Bukankah pada sebuah wawancara televisi Abbas Mahmoud El-Aqqad pernah mengatakan bahwa Anda layak menerimanya? Padahal wawancara itu terjadi 20 tahun lalu.

Mahfuz: El-Aqqad terlalu berlebihan.

Salmawy: Apakah pencapaian Nobel berpengaruh terhadap kehidupan dan karya-karya Anda berikutnya?

Mahfuz: Ya. Nobel semakin mengukuhkan tekad saya untuk terus menulis. Tapi sayang saya menerimanya di akhir karier kepenulisan saya. Buku yang saya rampungkan sejak menerima Nobel hanya Echoes of an Autobiography. Saat ini saya tengah menyelesaikan Dreams of Recuperation. Novel Qushtumur, yang dimuat secara berseri di Al-Ahram, saya rampungkan sebelum mendapatkan penghargaan itu kemudian diterbitkan dalam bentuk buku setelah memenangkan Nobel. Meski demikian, Nobel bagi saya telah membentuk gaya hidup baru yang belum pernah saya jalani dan tak pernah saya bayangkan. Saya harus menghadiri banyak wawancara dan pertemuan yang diadakan oleh media. Saya sebenarnya memilih bekerja dalam ketenangan.

Salmawy: Secara umum, apa pengaruh karya-karya Anda pada kesusastraan Mesir setelah Anda memenangkan Nobel?

Mahfuz: (tertawa) Pertanyaan ini seharusnya Anda ajukan pada para kritikus. Hanya mereka yang berhak apakah karya-karya saya mempengaruhi kesusastraan Arab atau tidak. Tapi barangkali salah satu efeknya adalah makin banyak karya sastra Arab yang diterjemahkan ke dalam bahasa lain. Saya mengetahui hal ini dari seorang tamu Rusia, juga dari orang-orang Jerman yang berkunjung ke Mesir sekaligus mengundang saya menghadiri Frankfurt International Book Fair yang tengah dipersiapkan.

TENTANG SASTRA, PENCEKALAN KARYA, DAN KARIER DI DUNIA FILM

Salmawy: Dalam kehidupan modern sering terlontar anggapan bahwa kesusastraan memiliki nilai yang lebih rendah dibandingkan dengan sains. Dengan kata lain, kesusastraan adalah hal minor, sesuatu yang tidak diperlukan oleh banyak orang.

Mahfuz: Tidak bisa disangkal jika dikatakan bahwa status novelis mengalami kemunduran. Ini merupakan fenomena yang sangat disayangkan. Kesusastraan adalah sesuatu yang sangat vital dan tak bisa digantikan oleh sains atau apapun. Fungsi sastra dalam suatu masyarakat hanya bisa diisi oleh sastra itu sendiri. Tidak mungkin ada masyarakat yang hidup tanpa itu. Jika Anda mengamati kehidupan masyarakat primitif, Anda bisa menemukan kesusastraan walaupun mereka buta huruf. Di pedesaan, masyarakat berkumpul mengelilingi seorang pendongeng untuk mendengarkan berbagai cerita rakyat seputar kepahlawanan. Saya tidak bisa membayangkan kehidupan manusia tanpa kesusastraan. Perubahannya hanya terletak pada media penyampainya, yaitu dari lisan ke era tulisan.

Salmawy: Lalu apa arti sastra bagi seseorang? Banyak orang yang sepanjang hidupnya tak pernah membaca novel dan mereka tak merasa ada sesuatu yang kurang.

Mahfuz: Manusia bukan hanya tubuh. Manusia adalah susunan dari jiwa, kesadaran, dan pikiran. Manusia tidak hanya hidup dari makanan. Akses terhadap kesusastraan tidak tertutup hanya karena orang yang tak suka atau tak bisa membaca. Barangkali secara oral atau visual seperti yang terjadi dalam film. Kesusastraan sangat penting bagi kehidupan manusia karena memperhalus pribadi mereka. Kesusastraan menyumbangkan nilai yang tak bisa disumbangkan oleh dunia ekonomi, politik, atau sains. Aristoteles mengatakan bahwa kesusastraan memiliki pengaruh luar biasa pada jiwa manusia yang disebutnya katarsis. Kesusastraan membersihkan manusia, memperhalus perasaannya, dan memberikan kehormatan padanya.

Salmawy: Bagaimana dengan kejeniusan literer? Apakah itu sebuah fenomena khusus?

Mahfuz: Mari kita bicara tentang kreativitas literer ketika kejeniusan merupakan langkah maju. Hal yang membedakan penulis dengan orang kebanyakan adalah rasa sensitif. Empati penulis terhadap sekelilingnya lebih besar jika dibandingkan dengan orang lain. Selain itu, mereka juga sangat dipengaruhi oleh lingkungan sekitar. Contohnya saja jika kita semua melihat bulan, para penulis akan tergerak untuk menulis puisi tentangnya yang takkan pernah dirasakan jika hanya sebatas mengamati.

Salmawy: Mengenai novel Aulad Haratina. Benarkah novel tersebut dicekal oleh Al-Azhar atau Anda memang sengaja tidak menerbitkannya?

Mahfuz: Awalnya, novel itu dimuat secara bersambung di Al-Ahram sekitar tahun 1959 yang memicu reaksi keberatan dari beberapa ulama Al-Azhar. Tapi, Muhammad Husenain Haikal, editor Al-Ahram, bersikeras tetap menerbitkan seluruhnya. Setelah itu barulah Hasan Sabri El-Khali memanggil saya.

Salmawy: Apakah saat itu kapasitasnya sebagai juru bicara presiden Gamal Abdul Nasser?

Mahfuz: Bukan. Waktu itu dia masih menjabat sebagai kepala penerbitan buku dan surat kabar di Dinas Penerangan. Saya berhubungan baik dengannya. Kantor kami saling berdekatan. Kebetulan kami berdua menempati gedung yang sama di jalan Talaat Harb. Suatu hari saya diundang ke kantornya. Dia mengatakan bahwa beberapa ulama Al-Azhar bermaksud mendiskusikan novel tersebut dengan saya. Saya bersedia dan segera mengatur tanggal pertemuan. Pada waktu yang telah ditentukan, saya mendatangi ke kantor El-Khali lalu menunggu kedatangan mereka. Tapi, tak satu pun yang datang. Setelah itu, El-Kholi mengatakan lebih baik saya melupakan mereka. Kami pun mendiskusikan novel tersebut hingga sampai pada pernyataan bahwa sebagai Kepala Penerbitan Dinas Penerangan, dia melarang penerbitan novel tersebut di Mesir. Sama sekali bukan karena tekanan dari Al-Azhar. Dia juga mengatakan saya boleh menerbitkan novel tersebut di luar negeri. Inilah kesepakatan yang hingga saat ini masih saya hormati.

Salmawy: Tapi bukankah sensor buku kini semakin jarang dan El-Kholi pun telah meninggal?

Mahfuz: Saya tidak menerbitkannya di Mesir bukan semata alasan sensor maupun tekanan Al-Azhar, tapi karena kesepakatan itu.

Salmawy: Banyak penulis merasa keberatan pada sikap Al-Azhar tersebut.

Mahfuz: Al-Azhar tidak memiliki otoritas. Jika saya mau, novel tersebut pasti akan diterbitkan versi Al-Ahram atau orang-orang sesudahnya. Hanya Al-Ahram yang menerbitkan novel tersebut dengan izin penuh dari saya.

Salmawy: Para ulama Al-Azhar menyatakan bahwa mereka bersedia membaca kembali novel itu jika Anda yang memintanya.

Mahfuz: Saya tidak akan melakukannya. Itu kewajiban penerbit. Jika saya meminta Al-Azhar sama saja mengakui hak yang tak mereka miliki. Saya tidak memperdulikan himbauan Al-Azhar.

Barmawy Munthe, pengajar UIN Jogjakarta, yang mengambil topik penelitian mengenai wanita dalam Trilogi Kairo untuk disertasi doktoralnya, berkesempatan mengunjungi Mahfuz dan menanyakan beberapa hal mengenai novel tersebut.

Munthe: Saya heran melihat kondisi perempuan sekarang dan perubahan mereka setelah Anda menulis Trilogi Kairo.

Mahfuz: Novel itu menggambarkan kaum perempuan dalam berbagai karakter. Anda melihat karakter perempuan yang tradisional dan patuh, juga ada yang tipe perempuan moderen.

Munthe: Dalam penelitian, saya membandingkan antara dunia fiksi dan realita sejarah. Perubahan realita sejarah mendorong perubahan dalam dunia fiksi. Realitas yang Anda gambarkan dalam novel tersebut sangat dinamis. Sangat fleksibel dengan menawarkan adanya perkembangan kondisi, tidak hanya sebatas potret.

Mahfuz: Saya menghadirkan 3 generasi perempuan dengan karakter-karakter yang dipengaruhi perkembangan jaman. Subjek Apa yang akan Anda ajarkan setelah meraih gelar PhD?

Munthe: Tentu saja masih seputar karya-karya Anda yang sangat mengagumkan, dalam, kaya, dan penuh dimensi yang belum sepenuhnya tereksplorasi. Saya membaca banyak tulisan tentang Anda. Tapi tiap kali membaca karya-karya Anda, selalu saja saya temukan sesuatu yang baru dan luput dari perhatian. Novel-novel Anda sangat populer di Indonesia.

Seorang peneliti film yang tertarik pada karier Mahfuz sebagai penulis skenario menanyakan tentang motivasi dan kesan Mahfuz saat bekerja di bidang perfilman.

Mahfuz: Tentu saja saya sangat menikmatinya karena film adalah salah satu bentuk seni. Hal yang menarik bagi saya adalah dramatisasi dalam setiap skenario. Segala sesuatu yang terjadi dengan dramatisasi terlihat menarik di mata saya. Itulah karir saya.

Peneliti: Apa perbedaan utama antara menjadi sastrawan dengan penulis skenario?

Mahfuz: Cerita dalam film disusun berdasarkan rangkaian imajinasi visual sementara cerita dalam sastra bergantung pada kemahiran verbal. Ketika menulis untuk skenario film, kebebasan Anda menjadi terbatasi. Anda tak dapat menuliskan sesuatu yang sulit ditangkap kamera. Sementara dalam novel, penulis memiliki kebebasan penuh menceritakan apapun.

Peneliti: Adakah hal yang bisa diungkapkan melalui film tapi tak bisa diceritakan lewat sastra?

Mahfuz: Tidak ada. Lingkup kesusastraan lebih luas ketimbang film.

Peneliti: Bagaimana pendapat Anda tentang skenario? Apakah skenario juga membutuhkan kreativitas tertentu atau hanya berkutat dengan masalah teknik?

Mahfuz: Skenario merupakan kombinasi dari keduanya. Untuk menulis sebuah skenario, Anda perlu menguasai kemampuan khusus. Untuk dapat menghasilkan skenario yang bagus, Anda harus kreatif. Sebagian skenario yang saya tulis bergantung pada gagasan yang dikonseptualisasikan oleh sutradara atau saya sendiri. Untuk mengubah gagasan sastra ke dalam format skenario membutuhkan kreativitas khusus.

Peneliti: Bagaimana Anda memperlakukan novel karya penulis lain? Apakah Anda berkeinginan untuk menulis ulang karya mereka dengan gaya Anda sendiri?

Mahfuz: Tentu saja tidak. Saya harus memberikan kesetiaan pada bentuk teks asli. Menurut saya, lebih baik menulis novel baru ketimbang menulis ulang novel orang lain. Tapi saya sepakat dengan pengubahan format novel ke dalam skenario sepanjang masih menyisakan keaslian novel tersebut.

Peneliti: Tapi ketika orang lain menulis sebuah skenario berdasarkan novel Anda, mereka melakukannya dengan penuh kebebasan.

Mahfuz: Setiap orang memiliki gaya kerja sendiri-sendiri.

Mesir, dan terutama Kairo, merupakan pusat kehidupan Mahfuz. Di sinilah dia hidup dan melakukan segala aktivitasnya. Novel-novel awalnya bergaya realistik yang mengungkapkan sejarah kuno negeri ini. Bagi Mahfuz, Mesir adalah tumpah darahnya, sumber inspirasi bagi karya-karyanya, dan tempat menyandarkan identitas kemanusiaan. Berikut ini, kesan-kesan Mahfuz mengenai Mesir yang terungkap dalam sebuah wawancara dengan Muhammad Salmawy (editor sastra surat kabar al-Ahram).

Salmawy: Bagaimanakah cara Anda memandang Mesir?

Mahfuz: Mesir bukanlah sekedar wilayah geografis. Mesir adalah pencipta peradaban. Inilah yang menyebabkan Mesir dijuluki sebagai induk bumi (the mother of the earth). Mesir menempati tempat terhormat di antara negara-negara lain di dunia, seperti halnya penghormatan kepada orang tua Anda. Anda akan tetap menghormati keduanya meskipun Anda lebih kaya, lebih pintar, serta lebih berkuasa. Negeri ini hanya berwujud sebuah garis tipis sepanjang lembah sungai Nil sementara sisanya merupakan gurun pasir yang tidak bisa dihuni. Persoalan bukan terletak pada luas daerah, melainkan pada semangat orang-orang yang menghuninya. Garis tipis tersebut menciptakan nilai-nilai moral, konsep monoteisme, kesenian, sains, dan sistem administrasi yang mengagumkan. Faktor-faktor inilah yang menyebabkan rakyat Mesir bisa bertahan di saat kebudayaan negeri-negeri lain musnah.

Salmawy: Apa rahasianya hingga Mesir bisa berbuat seperti itu?

Mahfuz: Rakyat Mesir bisa mempelajari cara menyerap sari pati tanah. Mereka sangat peduli pada kehidupan dan tahu cara memeliharanya. Rakyat Mesir kuno telah menemukan sistem pertanian dan menyembah tumbuhan. Mereka merupakan komunitas hijau pertama di dunia. Melalui sejarah, orang-orang Mesir merasa bahwa misi mereka adalah memelihara kehidupan dan merasa bangga dengan hal itu. Hadirnya moralitas jauh sebelum agama-agama besar tak sebatas sebagai sistem untuk mengontrol dan mengendalikan manusia, tapi sekaligus perlindungan untuk mencegah kekacauan dan kematian.

Salmawy: Sepanjang sejarah, Mesir juga dipengaruhi oleh peradaban lain. Menurut Anda, peradaban manakah yang memiliki pengaruh terbesar?

Mahfuz: Peradaban Islam. Islam masuk ke Mesir membawa kepercayaan Semitik yang baru bagi rakyat Mesir. Keadilan dan kesetaraan seluruh umat manusia, misalnya landasan prinsip Islam. Islam tidak membedakan warna kulit, etnis, ataupun kekayaan. Di hadapan Tuhan, penguasa dan subjek peribadatan setiap orang setara. Mesir tetap mempertahankan beberapa karakter asli setelah penaklukan Islam. Islam merekonstruksi karakter rakyat Mesir tanpa melenyapkan akar-akarnya. Pengaruh Islam pada rakyat Mesir melebihi apapun yang terjadi di Mesir sejak masa Fira’un.

Salmawy: Apakah Mesir dengan peradabannya yang luar biasa juga mempengaruhi Islam?

Mahfuz: Mesir memberi suara baru pada Islam. Mesir tidak mengubah prinsip-prinsip dasar ajaran Islam, tapi budaya Mesir memberi sebuah nafas baru. Sesuatu yang tidak bisa ditemukan di tanah Arab. Mesir mengembangkan Islam yang moderat, toleran, dan tidak ekstrem. Penduduk Mesir merupakan pemeluk yang saleh, tapi mereka tahu cara memadukan kesalehan dan kegembiraan, seperti yang telah dilakukan oleh nenek moyang di masa lampau. Rakyat Mesir merayakan hari raya dengan cerdas. Festival keagamaan dan bulan Ramadhan merupakan kesempatan untuk merayakan kehidupan.

Menegangnya hubungan Islam-Barat yang dipicu oleh serangkaian aksi terorisme juga mendapat perhatian dari Mahfuz. Dalam wawancara berikut akan dibahas masalah-masalah tersebut serta sedikit menyinggung tentang pencekalan novelnya. Wawancara ini dilakukan oleh seorang jurnalis Barat yang tak disebutkan namanya dalam situs Al-Ahram.

Jurnalis: Bagaimana Anda melihat prospek hubungan Barat-Timur dalam pergolakan dunia saat ini?

Mahfuz: Seni dan budaya merupakan hal esensial bagi tumbuhnya rasa saling memahami. Tak ada sesuatu pun yang dapat menggugah seseorang kecuali hal-hal yang menyentuh hatinya. Kami memahami karakter masyarakat Barat lebih baik ketimbang pemahaman mereka terhadap kami.

Jurnalis: Sejak penganugerahan Nobel Sastra untuk Anda di tahun 1988, masyarakat Barat menjadi lebih familier dengan karya sastra dan budaya Arab karena karya sastra memotret seluruh aspek kehidupan masyarakat. Karya-karya Anda telah membantu kami tidak hanya untuk memahami kesusastraan Arab, namun juga memberikan wawasan mengenai masyarakat Anda. Trilogi Kairo, misalnya, menghadirkan potongan peristiwa penting selama periode dua perang besar di Mesir. Sayangnya, pemahaman baru dalam novel Anda ini dirusak oleh sebuah konflik yang terjadi antara peradaban Barat dan Muslim. Sejak peristiwa 9/11 (pengeboman WTC), para pemimpin negara maju berulang kali menyatakan bahwa Islam adalah musuh utama. Menurut Anda adakah harapan untuk mengembalikan keadaan saling memahami tersebut?

Mahfuz: Tentu saja saya menyadarinya. Dunia kita sedang sakit, dalam arti dalam keadaan yang tidak sesuai harapan. Kelak ketika semuanya pulih, niscaya kita akan berusaha untuk saling memahami kembali. Kita tahu bahwa pada akhirnya perang hanya akan berujung pada kolonialisme. Fenomena ini tampak seperti sebuah upaya yang dilakukan oleh suatu kekuatan untuk membangun imperium baru dengan cara-cara klasik. Tapi di tengah konflik Barat-Timur ini, kami masih mendengarkan musik mereka dan memberikan apresiasi pada film-film asing. Di sana pun buku-buku kami pun masih diterjemahkan. Perlu diingat masih ada upaya para intelektual Barat untuk memahami masyarakat Arab dan Islam.

Jurnalis: Bagaimana dengan penyebaran ekstremisme di berbagai tempat?

Mahfuz: Ketika keadilan terpelihara dengan baik, maka ekstremisme akan hilang sebab itu adalah produk ketidakadilan.

Jurnalis: Anda pun dilukai oleh tangan-tangan ekstremis. Salah satu novel Anda sampai hari ini tidak diterbitkan di Mesir karena pihak yang tidak menyetujui karya tersebut.

Mahfuz: Itu sebuah kasus khusus dan saya tidak merisaukannya. Masyarakat tidak harus membaca sebuah novel yang mereka anggap tidak harus dibaca hingga suatu saat pendapat mereka berubah. Tugas saya menulis dengan mempergunakan penilaian artistik meski banyak orang merasa tidak nyaman. Saya hanya menulis hal-hal yang saya yakini bukan yang lain.


Wawancara berikut ini diterbitkan oleh Surat kabar mingguan Al-Ahram sesaat sebelum wafatnya Najib Mahfuz. Dia kembali diwawancarai oleh Muhammad Salmawy, redaktur sastra, surat kabar tersebut.


Salmawy: Setelah kemajuan sains dan teknologi, masihkah ada tempat untuk agama di dunia materialistik ini?

Mahfuz: Di masa modern peran agama menjadi semakin krusial. Manusia telah membuat kemajuan luar biasa yang tak tercapai di masa lalu. Kekuatan ini bisa dipergunakan sesuai dengan prinsip-prinsip moral dan kemanusiaan atau disalahgunakan menjadi alat untuk mencapai segala macam kepentingan. Ketika kekuatan ini dipisahkan dari moralitas, pencarian materi hanya akan melahirkan bencana, seperti yang terjadi pada Perang Dunia dan konflik-konflik lain. Seluruh kejahatan dan kekerasan yang terjadi di sekeliling kita merupakan hasil dari pemisahan antara kepentingan dan prinsip. Ketika manusia mempergunakan kekuatannya sesuai dengan prinsip agama, maka hasilnya akan bisa dipertanggungjawabkan.

Salmawy: Dapatkah agama digantikan oleh filsafat yang berdasar pada prinsip-prinsip kemanusiaan?

Mahfuz: Memang ada ajaran-ajaran filsafat yang mengangkat isu-isu moral. Tapi jika diamati sebenarnya filsafat sangat dipengaruhi oleh agama. Jacques Rousseau, misalnya, tidak bisa dipisahkan dari Kristianitas, demikian pula Francis Bacon. Di samping itu, ada perbedaan antara menyandarkan diri pada filsafat dan percaya pada suatu keyakinan (agama). Moralitas manusia sangat luar biasa, tapi hanya orang-orang beragama yang rela mati demi membela agamanya. Anda membutuhkan kepercayaan, tak hanya sebagai komitmen intelektual, tapi juga untuk berkorban. Inilah yang menyebabkan banyak filsuf tetap menghargai kekuatan iman. Seorang filsuf Prancis yang hidup pada abad 19, Victor Cousin, mengatakan bahwa kita membutuhkan agama demi tujuan agama itu sendiri. Kepercayaan bertempat dalam hati bukan dalam pikiran. Kaum sufi tidak menganalisis kepercayaan mereka, tapi menghidupkannya. Pada awalnya, pengalaman sufistik barangkali diawali dengan keraguan, seperti halnya imam Al-Ghazali yang telah menulis 200 buku mengenai berbagai macam topik dan berakhir dengan keteguhan religius.

Salmawy: Apakah Anda pernah mengalami momen keraguan seperti itu?

Mahfuz: Ya, pada saat saya masih remaja. Saya berusaha menyandarkan keimanan pada logika dan ilmu pengetahuan. Ini adalah periode yang sangat menyiksa dan berlangsung selama empat atau lima tahun. Tapi saya berhasil melaluinya dan pada akhirnya memperoleh keimanan yang sama dengan Al-Ghazali. Saya mengikuti kata hati dan mencapai keimanan yang hanya bisa dirasakan oleh jiwa.

Salmawy: Apakah keimanan selalu berkaitan dengan hati?

Mahfuz: Mereka yang mempercayai moralitas dengan akal pikirannya akan selalu mempertanyakan prinsip-prinsip moralitas. Mereka mungkin akan melarikan masalah moralitas menjadi kebutuhan akan kebahagiaan. Tapi ketika prinsip-prinsip tersebut datang dari Tuhan, mereka akan memperoleh makna yang lebih dalam. Tuhan menyimpan makna dalam prinsip-prinsip tersebut, seperti halnya ketika Dia menyimpan makna dalam alam semesta. Tanpa Tuhan, tak ada makna atau nilai-nilai yang bisa bertahan. Alternatif yang bisa disandarkan pada Tuhan hanya absurditas. Alternatif bagi Tuhan hanya ketiadaan makna.

Diterjemahkan dan disusun oleh: Muallaqat Forum Jogjakarta
Editor: Nisrina Lubis

Read more...

Wawancara Dr. Barmawy Munthe dengan Najib Mahfuz

Barmawy Munthe seorang pengajar pada Universitas Islam Negeri di Indonesia sekaligus pakar kajian karya-karya sastra Najib Mahfuz. Novel The New Cairo menjadi bahan kajian studinya untuk meraih gelar Master di Universitas McGill, Kanada. Kini Bermawy tengah menulis disertasi tentang perempuan dalam Trilogi Kairo. Wawancara berikut berlangsung di Kairo baru-baru ini.

Munthe: “Saya sangat bangga disebut sebagai pakar karya-karya Anda di Indonesia dan juga mendatangkan rezeki dengan kajian-kajian yang saya tulis.”

Mahfuz (tertawa): “Uang sepertinya penting.”

Munthe: “Saya heran melihat kondisi perempuan sekarang dan perubahan mereka setelah Anda menulis Trilogi Kairo”

Mahfuz: “Novel itu menggambarkan kaum perempuan dalam berbagai karakter. Anda melihat karakter perempuan yang tradisional dan patuh, juga ada yang tipe perempuan modern.”

Munthe: “Dalam penelitian, saya membandingkan antara dunia fiksi dan realita sejarah. Perubahan realita sejarah mendorong perubahan dalam dunia fiksi. Realitas yang Anda gambarkan dalam novel tersebut sangat dinamis. Sangat fleksibel dengan menawarkan adanya perkembangan kondisi, tidak hanya sebatas potret.”

Mahfuz: “Saya menghadirkan 3 generasi perempuan dengan karakter-karakter yang dipengaruhi perkembangan jaman.”

Munthe: “Saya menyadari bahwa di samping adanya perubahan jaman, juga ada karakter yang statis sehingga berdampak pada generasi berikutnya. Gambaran perempuan yang ada dalam novel Anda adalah perempuan sangat rajin, pandai, dan berhati keras. Mereka memperlihatkan kebenaran dan kebaikan dalam berbagai bentuk. Saya yakin Anda meyakini soal evolusi perempuan. Tokoh-tokoh Anda berubah secara perlahan-lahan menjadi sosok yang liberal. Aminah adalah satu fase yang berbeda dari Aisah dan Khadijah. Susan Hammad dalam al-Sukkariyah juga demikian. Ketiga fase tersebut terhubung pada satu pesan moral. Mereka tampil apa adanya tanpa ingin memberontak atau memicu kerusuhan.

Jejak para perempuan dalam Trilogi ini berbeda dengan kebebasan perempuan di Barat yang akhir-akhir ini penuh perlawanan. Alasan perubahan perilaku dan pemikiran tokoh-tokoh perempuan dalam novel ini terdorong oleh pendidikan. Putri Abdel Jawad bersekolah di rumah, sedangkan istri Mahmoud belajar di sekolah.”

Mahfuz: “Subjek Apa yang akan Anda ajarkan setelah meraih gelar PhD?”

Munthe: “Tentu saja masih seputar karya-karya Anda yang sangat mengagumkan, dalam, kaya, dan penuh dimensi yang belum sepenuhnya tereksplorasi. Saya membaca banyak tulisan tentang Anda. Tapi tiap kali membaca karya-karya Anda, selalu saja saya temukan sesuatu yang baru dan luput dari perhatian. Novel-novel Anda sangat populer di Indonesia.”

Mahfuz: “Apakah sudah ada versi terjemahannya?”

Munthe: “Kami membaca versi bahasa Arab. Kami belajar bahasa Arab karena itu adalah bahasa Al-Quran.”
Dr. Bermawy Munthe adalah staf pengajar di Jurusan Bahasa dan Sastra Arab Fakultas Adab UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Indonesia. Wawancara ini dilakukan saat penulisan disertasi untuk gelar doktornya.

Sumber: Al-Ahram Weekly, 16 - 22 March 2006 Issue No. 786

Diterjemahkan oleh Muallaqat Forum Jogjakarta
Editor: Nisrina Lubis


Read more...

Selasa, 26 Agustus 2008

Bibliography Najib Mahfuz

A. Fiksi

1. Abath al-Agdar, 1939 –diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul Mockery of The Fates.
2. Radubis, 1943
3. Kifah Tibah, 1944
4. Khan al-Khalili, 1944
5. Al-Kahirah al-Jadidah, 1946 – diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul New Cairo.


6. Zuqaq al-Midaqq, 1947 –diterjemahkan Ke dalam bahasa Inggris dengan judul Midaq Alley.
7. Ignis fatuus, 1948
8. Al-Sarab, 1949
9. Bidayah Wa-Nihayah, 1949 –diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan Judul The Beginning And The End
10. Al-Thulatiya, 1956-57 –diterjemahkan dalam bahasa Inggris dengan judul Cairo Trilogy.
a. Bayn al-Quasrayn (1956) (Palace walk)
b. Quasr al-Shawq (1957) (Palace of desire)
c. Al-Sukkariyah (1957) - Sugar Street
12. Children of Gebelaawi, 1959 –diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul Children of the Alley.
13. Al-Liss Wa-al-Kilab, 1961 – diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul The Thief And The Dogs.
14. Al-Summan Wa-al-Kharif, 1962 – diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul Autumn Quail.
15. Al-Tariq, 1964 – diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul the search.
16. Al-Shahhadh, 1965 – diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul The Beggar.
17. Thartharah Fawq al-Nil, 1966 –diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul Adrift On The Nile.
18. Awlad haritna, 1967 –diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul Children Of Gebelawi / Children Of The Alley.
17. Miramar, 1967
18. Al Maraya, 1971 –diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul Mirrors.
19. Al-Hubb Taht al Matar, 1973
20. Al-karnak, 1974 –diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul Three Contemporary Egyptian Novels.
21. Quab al-layl, 1975
22. Hadrat al-muhtaram, 1975 –diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul Respected Sir.
23. Malhamat al-Harafish, 1977 –diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul The Harafish.
24. Ars al-Hubb, 1980
25. Afrah al-Qubbah, 1981 – diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul Wedding song.
26. Layali alf Laylah, 1981 – diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul Arabian Nights And Days
27. Al-Baqi Min al-Zaman Sa'ah, 1982
28. Rihlat Ibn Fattumah, 1983 –diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul The Journey Of Ibn Fatouma
29. Amam al-'arsh, 1983


B. Non-Fiksi:

1. Hawl Al-Din wa Al-Dimuqratiyya [On Religion and Democracy], edited by Fathi El-Ashri, Cairo: Al-Dar Al-Misriyya Al- Lubnaniyya : 1990
2. Hawl Al-Thaqafa wa Al-Ta'lim [On Culture and Education], edited by Fathi El Ashri, Cairo: Al-Dar Al-Misriyya Al- Lubnaniyya; 1990
3. Hawl Al-Shabab wa Al-Huriyya [On Youth and Freedom], edited by Fathi El- Ashri, Cairo: Al-Dar Al-Misriyya Al- Lubnaniyya: 1990

C. Kumpulan Wawancara

1977 : Atahaddath Ilaykum, Kumpulan Wawancara diedit oleh Sabry Hafez;
1980 : Naguib Mahfouz Yatadhakkar, wawancara diedit oleh Gamal El-Ghitani;
1998 : Naguib Mahfouz: Safahat min Mudhakaratihi wa Adwaa Gadida 'ala Adabih wa Hayatih, wawancara diedit oleh Ragaa El-Naqqash, Cairo: Al-Ahram Centre for Translation and Publishing.

D. Buku-buku Referensi Tentang Naguib Mahfouz:

1. The Changing Rhythm: A Study of Najib Mahfu's Novels oleh Sasson Somekh (1973)
2. The Modern Egyptian Novel oleh Hilary Kilpatrick (1974)
3. The Arabic Novel oleh Roger Allen (1982)
4. Naguib Mahfouz, Nobel 1988: Egyptian Perspectives (1989) Nobel Laureates in Literature, ed. oleh Rado Pribic (1990)
5. Naguib Mahfouz's Egypt oleh Hayim Gordon (1990)
6. Critical Perspectives on Naguib Mahfouz, ed. oleh Trevor Le Gassick (1991)
7. Naguib Mahfouz, oleh by Michael Beard dan Adnan Haydar (1993)
8. Naguib Mahfouz: The Pursuit of Meaning oleh Rasheed el-Enany (1993)
9. The Early Novels of Naguib Mahfouz: Images of Modern Egypt oleh Matti Moosa (1994)
10. The Cairo of Naguib Mahfouz by Gamal al-Ghitani (2000)

Read more...

Wawancara Najib Mahfuz

Wawancara dengan Najib Mahfuz oleh penulis dan jurnalis Muhammad salmawy pada bulan Maret 2006.
Muhammad salmawy: Apa yang Anda rasakan ketika mengetahui bahwa Anda memperoleh Nobel Sastra?

Najib Mahfuz: Saya merasa sangat bahagia sekaligus terkejut. Saya tak pernah menyangka akan memperoleh Nobel. Selama saya hidup Nobel selalu diberikan pada para penulis kelas atas seperti Anatole France, Bernard Shaw, Ernest Hemingway, dan William Faulkner. Ada juga orang-orang seperti Jean-Paul Sartre dan Albert Camus. Saya juga mendengar bahwa suatu saat nanti seorang penulis Arab akan memperoleh Nobel, namun saya sangat meragukan hal itu.
Mohamed Salmawy: Tetapi bukankah 20 tahun sebelum Anda memperoleh Nobel Abbas Mahmoud El-Aqqad telah meramalkan Anda akan memperolehnya? Pada sebuah wawancara televisi, ia mengatakan bahwa Anda pantas menerima Nobel.
Najib Mahfuz: Ah…El-Aqqad terlalu berlebihan.
Mohamed Salmawy: Apakah memperoleh Nobel mempengaruhi kehidupan dan karya-karya Anda berikutnya?
Naguib Mahfouz: Ya. Nobel semakin mempertebal tekad saya untuk terus menulis. Namun sayangnya, saya menerimanya pada masa akhir karier kepenulisan saya. Buku yang berhasil saya tulis setelah menerima Nobel hanyalah Echoes of an Autobiography. Sekarang saya tengah menulis Dreams of Recuperation. Bahkan novel Qushtumur, yang dimuat secara berseri di Al-Ahram, saya tulis sebelum saya menerima Nobel. Novel itu diterbitkan dalam bentuk buku setelah pemuatan berseri. Secara personal Nobel telah membentuk gaya hidup baru yang belum pernah saya jalani dan tak pernah saya bayangkan. Saya harus menghadiri banyak wawancara dan pertemuan yang diadakan oleh media, namun sebenarnya saya lebih memilih untuk bekerja dalam ketenangan.
Mohamed Salmawy: Apa yang membuat Anda menjadi penulis dan siapa saja yang menginspirasi karier Anda?
Naguib Mahfouz: Saya mulai menulis ketika usia sekolah dasar. Saya terinspirasi para penulis Arab kontemporer seperti El-Manfalouti, Taha Hussein, dan El-Aqqad. Mereka seperti memindahkan gairah menulis pada saya, akibatnya saat berada di sekolah menengah, saya memutuskan untuk pindah dari kelas sains ke kelas sastra.
Mohamed Salmawy: Peristiwa apakah yang paling penting sejak Anda menerima Nobel?
Naguib Mahfouz (menunjuk lehernya): Ini, tikaman yang saya terima di tahun 1994 (ini mengingatkan kita pada upaya pembunuhan yang dilakukan oleh seorang pemuda yang mencoba menikamkan sebilah belati di lehernya. Setelah peristiwa itu tangan Mahfouz mengalami kelumpuhan.) namun saya merasa sangat tersanjung pada cara negara dan masyarakat menunjukkan duka cita mereka.
Mohamed Salmawy: Secara umum apa pengaruh karya-karya Anda pada kesusasteraan Mesir setelah Anda memenangkan Nobel?
Naguib Mahfouz: Haha…jawaban pertanyaan ini seharusnya Anda dapatkan dari para kritikus. Hanya mereka yang bisa menilai apakah karya-karya saya mempengaruhi kesusasteraan Arab atau tidak. Namun, barangkali salah satu efeknya adalah makin banyak karya sastra Arab yang diterjemahkan ke dalam bahasa lain. Saya mendengar ini dari seorang tamu asal Rusia, juga dari orang-orang Jerman yang berkunjung ke Mesir untuk mengundang kita ke Frankfurt International Book Fair.


Read more...

Pertemuan Najib Mahfuz dan Nadine Gordmer

Berikut ini adalah situasi pertemuan antara Najib Mahfuz dan Nadine Gordimer yang dilaporkan oleh Muhammad Salmawy untuk harian Al-Ahram Mesir. Untuk teks asli pada harian tersebut silakan klik di sini . Dalam hal ini, Muallaqat Forum hanya berperan sebagai penerjemah dan kemudian mempublikasikannya kembali melalui blog ini. Hak cipta liputan ini sepenuhnya milik harian Al-Ahram.


- Muallaqat Forum
=====================================

Pada tanggal 29 Januari minggu ini, penulis kulit putih Afrika Selatan Nadine Gordimer bertemu dengan penerima Nobel Sastra dari Mesir, Najib Mahfuz. "Hari ini 51 tahun yang lalu," kata Gordimer pada Mahfuz, "aku menikah dan suamiku mengajak pergi ke Mesir, negara pertama yang ku kunjungi. Hari ini, pertemuan yang telah saya angankan bertahun-tahun ini, adalah hadiah luar biasa untuk mengingat kejadian tersebut."

Gordimer dan seorang penulis asal Prancis, Robert Sole, datang ke Mesir atas undangan dari menteri kebudayaan Faruq Husni, sebagai tamu kehormatan pada Cairo International Book Fair ke 37.
Kira-Kira dua jam setelah mendarat di Mesir, Gordimer langsung bersiap pergi ke tempat tinggal Najib Mahfuz di Agoza yang berlatar sungai Nil. Dua penerima Nobel tersebut (Mahfuz menerima Nobel tahun 1988 dan Gordimer tahun 1991) kemudian terlibat dalam percakapan yang sangat akrab–sesuatu yang membanggakan saya karena telah lama merencanakan pertemuan ini. Tepatnya ketika pertama kali saya menghubungi Gordimer untuk menyampaikan undangan dari Faruq Huni.
Ketika saya meneleponnya, Gordimer menerima undangan tersebut dengan sangat girang dan segara menambahkan, "sejak lama saya ingin bertemu Najib Mahfuz, apakah Anda bisa mengatur pertemuan tersebut?" Dua tahun lalu, Gordimer mengunjungi Mesir untuk yang kedua kali namun ia tidak bisa bertemu dengan Mahfuz yang ia juluki sebagai "salah satu bakat kreatif terbesar dalam jagad novel dunia."
"Saya mengoleksi seluruh Karya Mahfuz yang diterbitkan dalam bahasa Inggris," ia berkata pada saya melalui telepon. "Kapan pun saya membaca bukunya saya terdorong untuk membaca buku-bukunya yang lain."
Ketika saya memberitahukan hal ini pada Mahfuz, ia meresponnya dengan positif, "Itu berarti saya bisa menyambutnya dengan buku berbahasa Inggris terakhir saya" kata Mahfuz. (buku itu adalah The Dreams yang diluncurkan bulan kemarin bertepatan dengan ulang tahunnya yang ke 93. Minggu ini, edisi Arabnya yang diterbitkan oleh penerbit Dar al-Shurouq akan diluncurkan di pameran buku.)
Mahfuz memberikan buku tersebut pada tamunya ketika kami tengah duduk di ruang tamu kediamannya. Sejenak Gordimer membolak-balik halaman-halaman buku itu, melihat-lihat sampulnya yang berwarna biru, membaca daftar isi dan komentar-komentar di sampul belakang. "Saya belum pernah melihat buku ini," katanya. “Buku itu berisi sebagian kecil cerita pendek yang baru saja saya tulis. Diinspirasi oleh mimpi-mimpi," timpal Mahfuz.
Perempuan Afsel itu terheran-heran menatap Mahfuz, "Anda bisa menulis pada usia setua ini?"
Saya hanya menuliskan mimpi-mimpi tersebut, tidak lebih. Apakah Anda tak menulis lagi?"
"Oh, Menulis. Sekarang menjadi itu hal yang sangat sulit dilakukan. Saya baru saja menyelesaikan sebuah novel dan setiap kali saya menyelesaikan sebuah novel, saya selalu merasa novel tersebut akan menjadi novel terakhir."
Percakapan ini kemudian berubah menjadi diskusi panjang tentang apakah seorang penulis sebaiknya pensiun.
Suatu saat saya pernah merasa bahwa saya tidak akan bisa lagi menulis lagi," kata Mahfuz pada Gordimer. "Itu terjadi di awal 1950-an ketika saya menyelesaikan Trilogi saya. Saat itu saya merasa telah menumpahkan seluruh kemampuan menulis novel dan tidak lagi memiliki sesuatu pun yang bisa dikatakan. Berkali-kali saya mencoba menulis, namun selalu gagal. Saya pun beralih ke dunia film, menulis skenario. Ketika saya bergabung dengan Serikat Pekerja Seni, Anda tahu, saya mendaftarkan diri sebagai penulis skenario, bukan sebagai novelis. Enam tahun kemudian tanpa diduga-duga saya mendapati diri saya tengah menulis sebuah novel baru, Children of Jabalawi (edisi Arab, Aulad Haratina) yang kemudian diterbitkan pada tahun 1959. Setelah novel ini, aktivitas kesusastraan saya pun terus mengalir, tulisan-tulisan saya membanjir dan terus membanjir hingga bertahun-tahun kemudian.” “Terus terang,” tambah Mahfuz, “Saya merasa tertekan ketika saya berpikir saya tidak bisa menulis lagi.”
“Berapa usia Anda pada saat itu?"
“Awal 40-an"
“Seandainya saya berada dalam posisi Anda," kata Gordimer, "barangkali saya juga akan merasa tertekan." Gordimer menambahkan, "Tapi bukankah depresi merupakan risiko profesi para pekerja kesusastraan. Pada usia 81 ini saya merasa telah banyak menulis."
“Kini saya berusia 93 tahun dan masih tetap menulis," kata Mahfuz. "Ini hanya persoalan gairah dan motivasi yang pada suatu saat dirasakan oleh para penulis dan di saat yang lain tidak, bergantung pada usianya. Dalam kasus saya, gairah untuk menulis tetap menyala bahkan setelah kondisi fisik saya mulai menjadi hambatan. Kondisi ini membuat proses menulis benar-benar menjadi sebuah cobaan berat. Saya tidak bisa lagi memegang pena dengan baik setelah kejadian yang menimpa tangan kanan saya. Sementara mata saya tidak bisa melihat dengan jelas apa yang telah ditulis oleh tangan saya di halaman-halaman kertas–sesuatu yang kemudian saya coba atasi dengan menggunakan metode dikte."
“Saya tidak dapat melakukannya.”
“Demikian juga saya. Bertahun-tahun saya berusaha menghindari metode tersebut karena bagi saya pena adalah jari-jari saya yang lain. Selama hampir 60 tahun saya telah mengidentikan diri dengannya sehingga tak sekalipun saya berpikir untuk menulis tanpa menggunakannya. Namun kemudian, ketika tulisan tangan saya tidak bisa lagi dibaca–karena kedua tangan saya terus bergetar–akhirnya saya menyerah. Ini sangat sulit karena saya hanya bisa mendiktekan selama beberapa jam, ketika asisten saya, yang membacakan naskah, berada di sini. Ini membuat saya terpaksa menyimpan seluruh cerita baru di dalam hati dan kemudian mendiktekannya kepada asisten saya saat ia datang."
Kedua orang penulis besar itu terdiam setelah berbagi pengalaman tentang kondisi mereka saat ini serta usaha-usaha untuk melampauinya agar tetap bisa menulis. Akhirnya penerima nobel dari Afrika Selatan ini bertanya pada koleganya dari Afrika Utara,
"Kapan Anda mulai menulis, Mahfuz?"
Mahfuz tertawa, "ketika saya menjadi murid sekolah dasar."
Gordimer diam, menanti kata-kata Mahfuz selanjutnya. Mahfuz meneruskan, "pada saat itu saya banyak membaca cerita detektif. Dan setiap kali saya menyelesaikan salah satu novel tersebut, saya menulis ulang dengan gaya saya sendiri. Setelah itu saya mulai menulis cerita yang inspirasinya saya ambil dari kehidupan saya sendiri hingga kemudian saya mampu menggunakan imajinasi saya untuk membuat cerita. Saya ingat salah satu mentor saya yang paling berpengaruh, Salama Moussa, pernah berkata 'kau berbakat namun cerita-cerita milikmu tidak bagus.' Namun, dengan tekun saya terus mencoba menulis.
Dengan penuh rasa ingin tahu Mahfuz menatap tamunya dan kemudian bertanya "Anda sendiri, kapan Anda mulai menulis?"
“Pada usia 9 tahun,” jawab Gordimer. “Sebelumnya saya adalah seorang penari balet. Saya mulai belajar menari sejak berusia 6 tahun namun pada usia 9 tahun jantung saya bermasalah dan dokter melarang saya menari. Saya pikir dokter tersebut keliru karena saya berhasil menjalani hidup yang sangat melelahkan dan sekarang saya berusia lebih dari 80 tahun. Namun pada waktu itu saya tidak mengetahuinya sehingga saya mengikuti instruksi dokter yang dikatakan pada ibu saya. Sejak saat itulah saya banyak membaca. Saya menjadi sangat tertarik pada dunia tulis-menulis. Hingga pada akhirnya menulis menjadi dunia saya."
Gordimer kemudian bertanya pada Mahfuz "apakah Anda memiliki keinginan lain selain menjadi penulis?"
“Di awal kehidupan saya,” kata Mahfuz, "kedua orang tua saya menginginkan saya menjadi seorang insinyur mesin. Itu karena nilai matematika saya bagus. Namun, bagi saya menulis lebih menggairahkan dari pada onggokan mesin seperti halnya bagi Anda, menulis lebih menggairahkan dari pada balet.
Kedua penulis besar itu tertawa ketika mengenangkan masa lalu masing-masing. Seperti dua orang bocah yang baru saja meninggalkan ruang ujian, keduanya bertanya seberapa sulit soal-soal ujian tersebut.
Gordimer kemudian mengambil dua buah buku dari tasnya dan memberikan keduanya pada Mahfuz, sembari berkata, "buku pertama adalah kumpulan cerita pendek saya yang baru saja diterbitkan dengan judul Loot." Dia kemudian menuliskan kata-kata ini di halaman pertama buku tersebut, "Untuk Najib Mahfuz dengan penuh rasa hormat pada kebesaran dan kehangatan cintanya serta rasa terima kasih yang tulus untuk pencerahan dan kenikmatan saat membaca buku-bukunya. Nadine Gordimer, Kairo 2005."
Sedangkan tentang buku yang satunya lagi, Telling Tales, Gordimer berkata, "buku ini hanya berisi satu cerita milik saya dan 20 penulis lainnya. Beberapa dari mereka adalah para penerima nobel seperti kita." Ia menambahkan, sambil menyebut beberapa nama seperti Gunter Grass dari Jeman, Gabriel Marquez dari Kolombia, Kenzaburo Oe dari Jepang, Jose Saramago dari Portugal. "Namun yang lain,” tambah Gordimer, “pun tidak kalah hebat seperti Artur Miller, John Updike, Paul Theroux, Margret Atwood, Hanif Kureisyi, Woody Allen, dan lain-lain.
"Buku ini,” kata Gordimer, “bermula ketika beberapa tahun lalu saya berpikir bahwa sebagai seorang penulis kita harus melakukan sesuatu untuk para korban AIDS hingga kemudian saya menulis surat pada 20 penulis besar dunia dan meminta mereka mengirimkan sebuah cerita pendek. Saya katakan pada mereka jika saya akan mencari sebuah penerbit yang bersedia menyumbangkan dana untuk biaya percetakan buku dan seluruh prosesnya dan kemudian menyumbangkan keuntungannya untuk para korban AIDS. Semula saya berpikir jika ada 10 atau 15 penulis yang setuju itu sudah cukup untuk dicetak. Namun, saya sangat senang ketika 20 penulis tersebut bersedia dan dengan cepat mengirimkan cerita mereka. Begitulah, hingga akhirnya buku yang berisi 20 cerita pendek ini bisa terbit. Sejauh ini, buku ini telah terjual sekitar 50.000 eksemplar dan diterjemahkan ke dalam kurang lebih 15 bahasa. Saya sangat senang bisa memberikan buku ini pada Anda."
Mahfuz mengucapkan terima kasih pada Gordimer dan menerima buku itu sembari berkata, "Seandainya Anda meminta saya menyumbangkan salah satu cerita saya untuk tujuan seperti itu pasti saya akan mengirimkan juga." “Tetapi,” kata Gordimer, “bukankah pada saat menerima Nobel, Anda telah menyumbangkan uang Anda?
“Saya membagi hadiah Nobel untuk diri saya sendiri, istri, dan kedua anak saya seperti yang diajarkan oleh Islam. Dan kemudian bagian yang saya peroleh saya sumbangkan untuk kemanusiaan. Sumbangan itu kemudian digunakan untuk para penderita gagal ginjal yang harus cuci darah agar bisa mempertahankan hidupnya–yang di Mesir sangat mahal.”
Gordimer mengambil satu buku lagi dari dalam tasnya. Mahfuz tertawa sembari berkata, "Tidak, saya tidak ingin menerima lebih banyak buku dari Anda. Saya hanya memberi satu."
“Saya tidak akan memberikan buku ini melainkan saya ingin Anda memberikannya pada saya. Saya membelinya untuk melengkapi koleksi terbitan Inggris karya-karya Anda. Tolong tanda tangani buku ini dengan pena Anda. Saya tidak menyangka Anda akan memberi saya The Dreams dan saya kebetulan membawa salah satu buku Anda untuk bacaan selama dalam perjalanan. Dengan cara ini, kita telah memberikan masing-masing dua buah buku.
Mahfuz menandatangani bukunya, Ibn Fatouma Travels, dengan tangan yang bergetar dan menyerahkannya pada Gordimer, yang cepat-cepat memasukannya ke dalam tas bersanding dengan The Dreams–seolah-olah ia tengah menyembunyikan keduanya dari tangan-tangan usil.
Gordimer tampaknya tak ingin membebani tuan rumahnya yang menderita karena kedinginan seperti yang berkali-kali ia ucapkan sehingga Gordimer pun berkata, "Sekarang saya akan meninggalkan Anda dan kembali ke Hotel sehingga saya bisa membaca The Dreams."
Mahfuz memandang saya dan berkata "Dan Anda? Apakah Anda bersedia membacakan cerita-cerita yang Nadine Gordimer berikan pada saya?"
Saya berjanji akan membacakannya sambil mengantarkan tamunya yang luar biasa itu ke pintu.
========================
Sumber: Al-Ahram Weekly 3 - 9 February 2005 Issue No. 728
Read more...

Biografi Najib Mahfuz

Nama lengkapnya adalah Najib Mahfuz Abdul Aziz Ibrahim Basya, dilahirkan pada tanggal 15 Desember 1911, di Bandar Gamalia daerah pinggiran Kairo, Mesir. Keluarganya tergolong misikin dan tidak mengecap pendidikan yang memadai. Ayahnya adalah seorang pegawai rendahan yang kemudian beralih profesi menjadi pedagang. Mahfuz mempunyai enam saudara; dua laki-laki, empat perempuan. Keenam saudaranya ini telah mendahului menghadap Yang Maha Kuasa saat masih berusia balita. Jadilah Mahfudz kecil hidup tanpa canda dari kakak dan adiknya.
Pada tahun 1917, usia enam tahun, Mahfuz dan keluarganya tidak lagi menghirup suasana pinggiran Kairo yang kumuh dan tertinggal. Keluarganya pindah ke kawasan Abbasiyah yang lebih bersih dan modern. Pada saat itu, Mahfuz mulai mengecap pendidikan dasar, al-Madrasah al-Ibtida'iyyah. Pada tahun 1924, di usia tiga belas tahun, Mahfuz memasuki Sekolah Lanjutan; al-Madrasah ats-Tsanawiyyah Fu'ad al-Awwal.
Seiring peningkatan perekonomian keluarganya, pada tahun 1930 Mahfuz melanjutkan studinya di jurusan Filsafat Islam Universitas Kairo. Pada tahun 1934, Mahfuz mengantongi ijazah Sarjana Filsafat. Sebenarnya, Mahfuz mendapatkan tawaran dari Mustafa Abdul Raziq, salah seorang Guru Besar Universitas Kairo untuk menempuh program Doktor dalam bidang Filsafat dan Mistik Islam, namun tawaran itu ditolaknya. Kesenjangan sosial yang dirasakannya sejak kecil dan penderitaan kaum kecil yang tertindas oleh kekuasaan birokrasi Mesir membuat solidaritasnya bangkit. Mahfuz memilih pekerjaan di almamaternya dan menekuni bidang tulis-menulis.

AKTIVITAS NAJIB MAHFUDZ
Sejak pertengahan 1936 sampai 1939, Mahfuz mengabdi di almamaternya sebagai staf Sekretaris Universitas. Karier Mahfuz menanjak perlahan. Selepas dari pekerjaan ini, ia ditugaskan di Kementrian Agama dan Urusan Waqaf. Pekerjaan ini ditekuninya hingga tahun 1964. Pada tahun yang sama, di usia 43 tahun, ia mengakhiri masa lajangnya. Dan sejak saat itulah terjadi perubahan mendasar pada karier Mahfuz, ia diangkat sebagai Direktur Pengawasan Seni.
Pada tahun 1957, ia ditetapkan sebagai Direktur Lembaga Perfilman Nasional Mesir. Selama delapan tahun, Mahfuz mengabdi pada lembaga tersebut hingga ditetapkan sebagai anggota Dewan Tinggi Perlindungan Seni dan Sastra pada tahun 1965. setelah menjadi Penasihat Menteri Kebudayaan Mesir pada tahun 1971, Mahfuz memutuskan pensiun dan kembali mendalami minatnya dalam tulis-menulis, yakni sebagai editor sastra pada Surat Kabar al-Ahram; sebuah surat kabar harian yang dimiliki pemerintah Mesir.

KARYA-KARYA NAJIB MAHFUDZ
Sepanjang kehidupannya, Mahfuz telah menulis sekitar 70 cerita pendek, 46 karya fiksi, serta sekitar 30 naskah drama. Hingga saat ini, karya-karyanya telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dunia termasuk Indonesia. Karya pertama Mahfuz diterbitkan pada tahun 1932, di usia 21 tahun, dalam bentuk terjemahan berjudul al-Misr al-Qadimah. Sejak itu berturut-turut Mahfudz menulis; Hams al-Junun (1938, Cerpen), Abats al-Akdar (1939), serta Redouvis (1943) dan kisah Kifah Thibah (1944). Karya-karyanya tersebut di atas, kerap dianggap sebagai akhir dari periode romantisme Mahfuz. Setelah karya-karya tersebut, ia menjauhi gaya bahasa Manfalutisme (gaya bahasa yang digunakan oleh al-Manfaluti). Kemudian Mahfuz menulis al-Qahirah al-Jadidah (1945).
Tahun 1946, Mahfuz menulis Khan al-Khalili. Selanjutnya berturut-turut ia menulis Zuqaq al-Midaq (1947), as-Sarab (1948), serta Bidayah wa Nihayah (1949). Karya-karyanya ini menandai perubahan gaya bertutur Mahfuz dari romantisme menjadi realisme. Pada tahun 1956-1957, Mahfuz mulai menulis triloginya; Baina al-Qasrain, Qasr asy-Syauq, dan as-Sukriyyah. Trilogi setebal 1500 halaman ini menjadikannya dianugerahi hadiah Nobel Sastra yang diterimanya pada tanggal 13 Oktober 1988 dari Akademi Sastra Internasional di Swedia.
Tahun 1960, Mahfuz menulis Aulad Haratina (edisi bahasa Inggris oleh Philip Steward dengan judul The Children of Our Quarter, London; 1981). Novel panjang ini terbagi dalam lima bab, yakni; Adham, Jabal, Irfah, Rifa'ah, dan Qasim. Penulisan serial novel ini sekaligus menggambarkan arah baru gaya kepenulisan Mahfuz, yakni Simbolisme-Filosofis.
Selanjutnya, Mahfuz menulis al-Liss wa al-Kilab (1961), as-Samman wa al-Kharif, dan Dunya Allah (1962), ath-Thariq (1964), Bait Sayyi' as-Sum'ah dan asy-Syihaz (1965) serta Sarsarah Fauza an-Nil (1966), masih dengan kecenderungan Simbolisme-Filosofis. Pertengahan tahun 1967 sampai 1969, ia membuat cerpen-cerpennya yang merespon persoalan-persoalan keagamaan, nasionalisme Mesir, dan politik. Hal ini bisa dilihat dalam Khimarah al-Qiththi al-Aswad dan Tahta al-Mizallah serta Qisytamar (1969), Hikayah Bi La Bidayah Wa La Nihayah dan Syahru al-'Asal (1971), al-Maraya (1972), al-Hubbu Tahta al-Mathar (1973), al-Karnak (1974), Hikayat Haratina, Qalbu al-Lail, dan Hadhrat al-Muhtaromi (1975), Milhamah al-Harafisy (1977), al-Hubbu Fauqa Hadhbat al-Haram dan asy-Syaithan (1979), 'Ashru al-Hubbi (1980), dan Afrah al-Qubbah (1981).
Pada tahun 1994, Mahfuz mengalami kejadian yang tidak mengenakkan. Ia ditikam di bagian leher dengan sebilah pisau dapur. Kejadian ini membuat tangan kanan Mahfuz hampir mengalami kelumpuhan. Dua orang anggota kelompok militan yang terlibat dalam kejadian ini, divonis hukuman mati oleh pemerintah Mesir.
Pada masa tuanya, Najib Mahfuz hidup dengan mata yang hampir buta dan kemudian meninggal pada 30 Agustus 2006 setelah beberapa hari dirawat di rumah sakit.

Penghargaan :
- 1968 hadiah kesusastraan dari Pemerintah Mesir
- 1972 menerima Decoration of Republic of the 1st Order.
- 1988 menerima Collar of the Nile which is the highest order in Egypt.
- 1988 menerima anugerah Nobel Sastra dari Akademi Nobel Swedia
Read more...