Berikut ini adalah situasi pertemuan antara Najib Mahfuz dan Nadine Gordimer yang dilaporkan oleh Muhammad Salmawy untuk harian Al-Ahram Mesir. Untuk teks asli pada harian tersebut silakan klik di sini . Dalam hal ini, Muallaqat Forum hanya berperan sebagai penerjemah dan kemudian mempublikasikannya kembali melalui blog ini. Hak cipta liputan ini sepenuhnya milik harian Al-Ahram.
- Muallaqat Forum
Pada tanggal 29 Januari minggu ini, penulis kulit putih Afrika Selatan Nadine Gordimer bertemu dengan penerima Nobel Sastra dari Mesir, Najib Mahfuz. "Hari ini 51 tahun yang lalu," kata Gordimer pada Mahfuz, "aku menikah dan suamiku mengajak pergi ke Mesir, negara pertama yang ku kunjungi. Hari ini, pertemuan yang telah saya angankan bertahun-tahun ini, adalah hadiah luar biasa untuk mengingat kejadian tersebut."
Gordimer dan seorang penulis asal Prancis, Robert Sole, datang ke Mesir atas undangan dari menteri kebudayaan Faruq Husni, sebagai tamu kehormatan pada Cairo International Book Fair ke 37.
Kira-Kira dua jam setelah mendarat di Mesir, Gordimer langsung bersiap pergi ke tempat tinggal Najib Mahfuz di Agoza yang berlatar sungai Nil. Dua penerima Nobel tersebut (Mahfuz menerima Nobel tahun 1988 dan Gordimer tahun 1991) kemudian terlibat dalam percakapan yang sangat akrab–sesuatu yang membanggakan saya karena telah lama merencanakan pertemuan ini. Tepatnya ketika pertama kali saya menghubungi Gordimer untuk menyampaikan undangan dari Faruq Huni.
Ketika saya meneleponnya, Gordimer menerima undangan tersebut dengan sangat girang dan segara menambahkan, "sejak lama saya ingin bertemu Najib Mahfuz, apakah Anda bisa mengatur pertemuan tersebut?" Dua tahun lalu, Gordimer mengunjungi Mesir untuk yang kedua kali namun ia tidak bisa bertemu dengan Mahfuz yang ia juluki sebagai "salah satu bakat kreatif terbesar dalam jagad novel dunia."
"Saya mengoleksi seluruh Karya Mahfuz yang diterbitkan dalam bahasa Inggris," ia berkata pada saya melalui telepon. "Kapan pun saya membaca bukunya saya terdorong untuk membaca buku-bukunya yang lain."
Ketika saya memberitahukan hal ini pada Mahfuz, ia meresponnya dengan positif, "Itu berarti saya bisa menyambutnya dengan buku berbahasa Inggris terakhir saya" kata Mahfuz. (buku itu adalah The Dreams yang diluncurkan bulan kemarin bertepatan dengan ulang tahunnya yang ke 93. Minggu ini, edisi Arabnya yang diterbitkan oleh penerbit Dar al-Shurouq akan diluncurkan di pameran buku.)
Mahfuz memberikan buku tersebut pada tamunya ketika kami tengah duduk di ruang tamu kediamannya. Sejenak Gordimer membolak-balik halaman-halaman buku itu, melihat-lihat sampulnya yang berwarna biru, membaca daftar isi dan komentar-komentar di sampul belakang. "Saya belum pernah melihat buku ini," katanya. “Buku itu berisi sebagian kecil cerita pendek yang baru saja saya tulis. Diinspirasi oleh mimpi-mimpi," timpal Mahfuz.
Perempuan Afsel itu terheran-heran menatap Mahfuz, "Anda bisa menulis pada usia setua ini?"
Saya hanya menuliskan mimpi-mimpi tersebut, tidak lebih. Apakah Anda tak menulis lagi?"
"Oh, Menulis. Sekarang menjadi itu hal yang sangat sulit dilakukan. Saya baru saja menyelesaikan sebuah novel dan setiap kali saya menyelesaikan sebuah novel, saya selalu merasa novel tersebut akan menjadi novel terakhir."
Percakapan ini kemudian berubah menjadi diskusi panjang tentang apakah seorang penulis sebaiknya pensiun.
Suatu saat saya pernah merasa bahwa saya tidak akan bisa lagi menulis lagi," kata Mahfuz pada Gordimer. "Itu terjadi di awal 1950-an ketika saya menyelesaikan Trilogi saya. Saat itu saya merasa telah menumpahkan seluruh kemampuan menulis novel dan tidak lagi memiliki sesuatu pun yang bisa dikatakan. Berkali-kali saya mencoba menulis, namun selalu gagal. Saya pun beralih ke dunia film, menulis skenario. Ketika saya bergabung dengan Serikat Pekerja Seni, Anda tahu, saya mendaftarkan diri sebagai penulis skenario, bukan sebagai novelis. Enam tahun kemudian tanpa diduga-duga saya mendapati diri saya tengah menulis sebuah novel baru, Children of Jabalawi (edisi Arab, Aulad Haratina) yang kemudian diterbitkan pada tahun 1959. Setelah novel ini, aktivitas kesusastraan saya pun terus mengalir, tulisan-tulisan saya membanjir dan terus membanjir hingga bertahun-tahun kemudian.” “Terus terang,” tambah Mahfuz, “Saya merasa tertekan ketika saya berpikir saya tidak bisa menulis lagi.”
“Berapa usia Anda pada saat itu?"
“Awal 40-an"
“Seandainya saya berada dalam posisi Anda," kata Gordimer, "barangkali saya juga akan merasa tertekan." Gordimer menambahkan, "Tapi bukankah depresi merupakan risiko profesi para pekerja kesusastraan. Pada usia 81 ini saya merasa telah banyak menulis."
“Kini saya berusia 93 tahun dan masih tetap menulis," kata Mahfuz. "Ini hanya persoalan gairah dan motivasi yang pada suatu saat dirasakan oleh para penulis dan di saat yang lain tidak, bergantung pada usianya. Dalam kasus saya, gairah untuk menulis tetap menyala bahkan setelah kondisi fisik saya mulai menjadi hambatan. Kondisi ini membuat proses menulis benar-benar menjadi sebuah cobaan berat. Saya tidak bisa lagi memegang pena dengan baik setelah kejadian yang menimpa tangan kanan saya. Sementara mata saya tidak bisa melihat dengan jelas apa yang telah ditulis oleh tangan saya di halaman-halaman kertas–sesuatu yang kemudian saya coba atasi dengan menggunakan metode dikte."
“Saya tidak dapat melakukannya.”
“Demikian juga saya. Bertahun-tahun saya berusaha menghindari metode tersebut karena bagi saya pena adalah jari-jari saya yang lain. Selama hampir 60 tahun saya telah mengidentikan diri dengannya sehingga tak sekalipun saya berpikir untuk menulis tanpa menggunakannya. Namun kemudian, ketika tulisan tangan saya tidak bisa lagi dibaca–karena kedua tangan saya terus bergetar–akhirnya saya menyerah. Ini sangat sulit karena saya hanya bisa mendiktekan selama beberapa jam, ketika asisten saya, yang membacakan naskah, berada di sini. Ini membuat saya terpaksa menyimpan seluruh cerita baru di dalam hati dan kemudian mendiktekannya kepada asisten saya saat ia datang."
Kedua orang penulis besar itu terdiam setelah berbagi pengalaman tentang kondisi mereka saat ini serta usaha-usaha untuk melampauinya agar tetap bisa menulis. Akhirnya penerima nobel dari Afrika Selatan ini bertanya pada koleganya dari Afrika Utara,
"Kapan Anda mulai menulis, Mahfuz?"
Mahfuz tertawa, "ketika saya menjadi murid sekolah dasar."
Gordimer diam, menanti kata-kata Mahfuz selanjutnya. Mahfuz meneruskan, "pada saat itu saya banyak membaca cerita detektif. Dan setiap kali saya menyelesaikan salah satu novel tersebut, saya menulis ulang dengan gaya saya sendiri. Setelah itu saya mulai menulis cerita yang inspirasinya saya ambil dari kehidupan saya sendiri hingga kemudian saya mampu menggunakan imajinasi saya untuk membuat cerita. Saya ingat salah satu mentor saya yang paling berpengaruh, Salama Moussa, pernah berkata 'kau berbakat namun cerita-cerita milikmu tidak bagus.' Namun, dengan tekun saya terus mencoba menulis.
Dengan penuh rasa ingin tahu Mahfuz menatap tamunya dan kemudian bertanya "Anda sendiri, kapan Anda mulai menulis?"
“Pada usia 9 tahun,” jawab Gordimer. “Sebelumnya saya adalah seorang penari balet. Saya mulai belajar menari sejak berusia 6 tahun namun pada usia 9 tahun jantung saya bermasalah dan dokter melarang saya menari. Saya pikir dokter tersebut keliru karena saya berhasil menjalani hidup yang sangat melelahkan dan sekarang saya berusia lebih dari 80 tahun. Namun pada waktu itu saya tidak mengetahuinya sehingga saya mengikuti instruksi dokter yang dikatakan pada ibu saya. Sejak saat itulah saya banyak membaca. Saya menjadi sangat tertarik pada dunia tulis-menulis. Hingga pada akhirnya menulis menjadi dunia saya."
Gordimer kemudian bertanya pada Mahfuz "apakah Anda memiliki keinginan lain selain menjadi penulis?"
“Di awal kehidupan saya,” kata Mahfuz, "kedua orang tua saya menginginkan saya menjadi seorang insinyur mesin. Itu karena nilai matematika saya bagus. Namun, bagi saya menulis lebih menggairahkan dari pada onggokan mesin seperti halnya bagi Anda, menulis lebih menggairahkan dari pada balet.
Kedua penulis besar itu tertawa ketika mengenangkan masa lalu masing-masing. Seperti dua orang bocah yang baru saja meninggalkan ruang ujian, keduanya bertanya seberapa sulit soal-soal ujian tersebut.
Gordimer kemudian mengambil dua buah buku dari tasnya dan memberikan keduanya pada Mahfuz, sembari berkata, "buku pertama adalah kumpulan cerita pendek saya yang baru saja diterbitkan dengan judul Loot." Dia kemudian menuliskan kata-kata ini di halaman pertama buku tersebut, "Untuk Najib Mahfuz dengan penuh rasa hormat pada kebesaran dan kehangatan cintanya serta rasa terima kasih yang tulus untuk pencerahan dan kenikmatan saat membaca buku-bukunya. Nadine Gordimer, Kairo 2005."
Sedangkan tentang buku yang satunya lagi, Telling Tales, Gordimer berkata, "buku ini hanya berisi satu cerita milik saya dan 20 penulis lainnya. Beberapa dari mereka adalah para penerima nobel seperti kita." Ia menambahkan, sambil menyebut beberapa nama seperti Gunter Grass dari Jeman, Gabriel Marquez dari Kolombia, Kenzaburo Oe dari Jepang, Jose Saramago dari Portugal. "Namun yang lain,” tambah Gordimer, “pun tidak kalah hebat seperti Artur Miller, John Updike, Paul Theroux, Margret Atwood, Hanif Kureisyi, Woody Allen, dan lain-lain.
"Buku ini,” kata Gordimer, “bermula ketika beberapa tahun lalu saya berpikir bahwa sebagai seorang penulis kita harus melakukan sesuatu untuk para korban AIDS hingga kemudian saya menulis surat pada 20 penulis besar dunia dan meminta mereka mengirimkan sebuah cerita pendek. Saya katakan pada mereka jika saya akan mencari sebuah penerbit yang bersedia menyumbangkan dana untuk biaya percetakan buku dan seluruh prosesnya dan kemudian menyumbangkan keuntungannya untuk para korban AIDS. Semula saya berpikir jika ada 10 atau 15 penulis yang setuju itu sudah cukup untuk dicetak. Namun, saya sangat senang ketika 20 penulis tersebut bersedia dan dengan cepat mengirimkan cerita mereka. Begitulah, hingga akhirnya buku yang berisi 20 cerita pendek ini bisa terbit. Sejauh ini, buku ini telah terjual sekitar 50.000 eksemplar dan diterjemahkan ke dalam kurang lebih 15 bahasa. Saya sangat senang bisa memberikan buku ini pada Anda."
Mahfuz mengucapkan terima kasih pada Gordimer dan menerima buku itu sembari berkata, "Seandainya Anda meminta saya menyumbangkan salah satu cerita saya untuk tujuan seperti itu pasti saya akan mengirimkan juga." “Tetapi,” kata Gordimer, “bukankah pada saat menerima Nobel, Anda telah menyumbangkan uang Anda?
“Saya membagi hadiah Nobel untuk diri saya sendiri, istri, dan kedua anak saya seperti yang diajarkan oleh Islam. Dan kemudian bagian yang saya peroleh saya sumbangkan untuk kemanusiaan. Sumbangan itu kemudian digunakan untuk para penderita gagal ginjal yang harus cuci darah agar bisa mempertahankan hidupnya–yang di Mesir sangat mahal.”
Gordimer mengambil satu buku lagi dari dalam tasnya. Mahfuz tertawa sembari berkata, "Tidak, saya tidak ingin menerima lebih banyak buku dari Anda. Saya hanya memberi satu."
“Saya tidak akan memberikan buku ini melainkan saya ingin Anda memberikannya pada saya. Saya membelinya untuk melengkapi koleksi terbitan Inggris karya-karya Anda. Tolong tanda tangani buku ini dengan pena Anda. Saya tidak menyangka Anda akan memberi saya The Dreams dan saya kebetulan membawa salah satu buku Anda untuk bacaan selama dalam perjalanan. Dengan cara ini, kita telah memberikan masing-masing dua buah buku.
Mahfuz menandatangani bukunya, Ibn Fatouma Travels, dengan tangan yang bergetar dan menyerahkannya pada Gordimer, yang cepat-cepat memasukannya ke dalam tas bersanding dengan The Dreams–seolah-olah ia tengah menyembunyikan keduanya dari tangan-tangan usil.
Gordimer tampaknya tak ingin membebani tuan rumahnya yang menderita karena kedinginan seperti yang berkali-kali ia ucapkan sehingga Gordimer pun berkata, "Sekarang saya akan meninggalkan Anda dan kembali ke Hotel sehingga saya bisa membaca The Dreams."
Mahfuz memandang saya dan berkata "Dan Anda? Apakah Anda bersedia membacakan cerita-cerita yang Nadine Gordimer berikan pada saya?"
Saya berjanji akan membacakannya sambil mengantarkan tamunya yang luar biasa itu ke pintu.
========================
Sumber: Al-Ahram Weekly 3 - 9 February 2005 Issue No. 728
Gordimer dan seorang penulis asal Prancis, Robert Sole, datang ke Mesir atas undangan dari menteri kebudayaan Faruq Husni, sebagai tamu kehormatan pada Cairo International Book Fair ke 37.
Kira-Kira dua jam setelah mendarat di Mesir, Gordimer langsung bersiap pergi ke tempat tinggal Najib Mahfuz di Agoza yang berlatar sungai Nil. Dua penerima Nobel tersebut (Mahfuz menerima Nobel tahun 1988 dan Gordimer tahun 1991) kemudian terlibat dalam percakapan yang sangat akrab–sesuatu yang membanggakan saya karena telah lama merencanakan pertemuan ini. Tepatnya ketika pertama kali saya menghubungi Gordimer untuk menyampaikan undangan dari Faruq Huni.
Ketika saya meneleponnya, Gordimer menerima undangan tersebut dengan sangat girang dan segara menambahkan, "sejak lama saya ingin bertemu Najib Mahfuz, apakah Anda bisa mengatur pertemuan tersebut?" Dua tahun lalu, Gordimer mengunjungi Mesir untuk yang kedua kali namun ia tidak bisa bertemu dengan Mahfuz yang ia juluki sebagai "salah satu bakat kreatif terbesar dalam jagad novel dunia."
"Saya mengoleksi seluruh Karya Mahfuz yang diterbitkan dalam bahasa Inggris," ia berkata pada saya melalui telepon. "Kapan pun saya membaca bukunya saya terdorong untuk membaca buku-bukunya yang lain."
Ketika saya memberitahukan hal ini pada Mahfuz, ia meresponnya dengan positif, "Itu berarti saya bisa menyambutnya dengan buku berbahasa Inggris terakhir saya" kata Mahfuz. (buku itu adalah The Dreams yang diluncurkan bulan kemarin bertepatan dengan ulang tahunnya yang ke 93. Minggu ini, edisi Arabnya yang diterbitkan oleh penerbit Dar al-Shurouq akan diluncurkan di pameran buku.)
Mahfuz memberikan buku tersebut pada tamunya ketika kami tengah duduk di ruang tamu kediamannya. Sejenak Gordimer membolak-balik halaman-halaman buku itu, melihat-lihat sampulnya yang berwarna biru, membaca daftar isi dan komentar-komentar di sampul belakang. "Saya belum pernah melihat buku ini," katanya. “Buku itu berisi sebagian kecil cerita pendek yang baru saja saya tulis. Diinspirasi oleh mimpi-mimpi," timpal Mahfuz.
Perempuan Afsel itu terheran-heran menatap Mahfuz, "Anda bisa menulis pada usia setua ini?"
Saya hanya menuliskan mimpi-mimpi tersebut, tidak lebih. Apakah Anda tak menulis lagi?"
"Oh, Menulis. Sekarang menjadi itu hal yang sangat sulit dilakukan. Saya baru saja menyelesaikan sebuah novel dan setiap kali saya menyelesaikan sebuah novel, saya selalu merasa novel tersebut akan menjadi novel terakhir."
Percakapan ini kemudian berubah menjadi diskusi panjang tentang apakah seorang penulis sebaiknya pensiun.
Suatu saat saya pernah merasa bahwa saya tidak akan bisa lagi menulis lagi," kata Mahfuz pada Gordimer. "Itu terjadi di awal 1950-an ketika saya menyelesaikan Trilogi saya. Saat itu saya merasa telah menumpahkan seluruh kemampuan menulis novel dan tidak lagi memiliki sesuatu pun yang bisa dikatakan. Berkali-kali saya mencoba menulis, namun selalu gagal. Saya pun beralih ke dunia film, menulis skenario. Ketika saya bergabung dengan Serikat Pekerja Seni, Anda tahu, saya mendaftarkan diri sebagai penulis skenario, bukan sebagai novelis. Enam tahun kemudian tanpa diduga-duga saya mendapati diri saya tengah menulis sebuah novel baru, Children of Jabalawi (edisi Arab, Aulad Haratina) yang kemudian diterbitkan pada tahun 1959. Setelah novel ini, aktivitas kesusastraan saya pun terus mengalir, tulisan-tulisan saya membanjir dan terus membanjir hingga bertahun-tahun kemudian.” “Terus terang,” tambah Mahfuz, “Saya merasa tertekan ketika saya berpikir saya tidak bisa menulis lagi.”
“Berapa usia Anda pada saat itu?"
“Awal 40-an"
“Seandainya saya berada dalam posisi Anda," kata Gordimer, "barangkali saya juga akan merasa tertekan." Gordimer menambahkan, "Tapi bukankah depresi merupakan risiko profesi para pekerja kesusastraan. Pada usia 81 ini saya merasa telah banyak menulis."
“Kini saya berusia 93 tahun dan masih tetap menulis," kata Mahfuz. "Ini hanya persoalan gairah dan motivasi yang pada suatu saat dirasakan oleh para penulis dan di saat yang lain tidak, bergantung pada usianya. Dalam kasus saya, gairah untuk menulis tetap menyala bahkan setelah kondisi fisik saya mulai menjadi hambatan. Kondisi ini membuat proses menulis benar-benar menjadi sebuah cobaan berat. Saya tidak bisa lagi memegang pena dengan baik setelah kejadian yang menimpa tangan kanan saya. Sementara mata saya tidak bisa melihat dengan jelas apa yang telah ditulis oleh tangan saya di halaman-halaman kertas–sesuatu yang kemudian saya coba atasi dengan menggunakan metode dikte."
“Saya tidak dapat melakukannya.”
“Demikian juga saya. Bertahun-tahun saya berusaha menghindari metode tersebut karena bagi saya pena adalah jari-jari saya yang lain. Selama hampir 60 tahun saya telah mengidentikan diri dengannya sehingga tak sekalipun saya berpikir untuk menulis tanpa menggunakannya. Namun kemudian, ketika tulisan tangan saya tidak bisa lagi dibaca–karena kedua tangan saya terus bergetar–akhirnya saya menyerah. Ini sangat sulit karena saya hanya bisa mendiktekan selama beberapa jam, ketika asisten saya, yang membacakan naskah, berada di sini. Ini membuat saya terpaksa menyimpan seluruh cerita baru di dalam hati dan kemudian mendiktekannya kepada asisten saya saat ia datang."
Kedua orang penulis besar itu terdiam setelah berbagi pengalaman tentang kondisi mereka saat ini serta usaha-usaha untuk melampauinya agar tetap bisa menulis. Akhirnya penerima nobel dari Afrika Selatan ini bertanya pada koleganya dari Afrika Utara,
"Kapan Anda mulai menulis, Mahfuz?"
Mahfuz tertawa, "ketika saya menjadi murid sekolah dasar."
Gordimer diam, menanti kata-kata Mahfuz selanjutnya. Mahfuz meneruskan, "pada saat itu saya banyak membaca cerita detektif. Dan setiap kali saya menyelesaikan salah satu novel tersebut, saya menulis ulang dengan gaya saya sendiri. Setelah itu saya mulai menulis cerita yang inspirasinya saya ambil dari kehidupan saya sendiri hingga kemudian saya mampu menggunakan imajinasi saya untuk membuat cerita. Saya ingat salah satu mentor saya yang paling berpengaruh, Salama Moussa, pernah berkata 'kau berbakat namun cerita-cerita milikmu tidak bagus.' Namun, dengan tekun saya terus mencoba menulis.
Dengan penuh rasa ingin tahu Mahfuz menatap tamunya dan kemudian bertanya "Anda sendiri, kapan Anda mulai menulis?"
“Pada usia 9 tahun,” jawab Gordimer. “Sebelumnya saya adalah seorang penari balet. Saya mulai belajar menari sejak berusia 6 tahun namun pada usia 9 tahun jantung saya bermasalah dan dokter melarang saya menari. Saya pikir dokter tersebut keliru karena saya berhasil menjalani hidup yang sangat melelahkan dan sekarang saya berusia lebih dari 80 tahun. Namun pada waktu itu saya tidak mengetahuinya sehingga saya mengikuti instruksi dokter yang dikatakan pada ibu saya. Sejak saat itulah saya banyak membaca. Saya menjadi sangat tertarik pada dunia tulis-menulis. Hingga pada akhirnya menulis menjadi dunia saya."
Gordimer kemudian bertanya pada Mahfuz "apakah Anda memiliki keinginan lain selain menjadi penulis?"
“Di awal kehidupan saya,” kata Mahfuz, "kedua orang tua saya menginginkan saya menjadi seorang insinyur mesin. Itu karena nilai matematika saya bagus. Namun, bagi saya menulis lebih menggairahkan dari pada onggokan mesin seperti halnya bagi Anda, menulis lebih menggairahkan dari pada balet.
Kedua penulis besar itu tertawa ketika mengenangkan masa lalu masing-masing. Seperti dua orang bocah yang baru saja meninggalkan ruang ujian, keduanya bertanya seberapa sulit soal-soal ujian tersebut.
Gordimer kemudian mengambil dua buah buku dari tasnya dan memberikan keduanya pada Mahfuz, sembari berkata, "buku pertama adalah kumpulan cerita pendek saya yang baru saja diterbitkan dengan judul Loot." Dia kemudian menuliskan kata-kata ini di halaman pertama buku tersebut, "Untuk Najib Mahfuz dengan penuh rasa hormat pada kebesaran dan kehangatan cintanya serta rasa terima kasih yang tulus untuk pencerahan dan kenikmatan saat membaca buku-bukunya. Nadine Gordimer, Kairo 2005."
Sedangkan tentang buku yang satunya lagi, Telling Tales, Gordimer berkata, "buku ini hanya berisi satu cerita milik saya dan 20 penulis lainnya. Beberapa dari mereka adalah para penerima nobel seperti kita." Ia menambahkan, sambil menyebut beberapa nama seperti Gunter Grass dari Jeman, Gabriel Marquez dari Kolombia, Kenzaburo Oe dari Jepang, Jose Saramago dari Portugal. "Namun yang lain,” tambah Gordimer, “pun tidak kalah hebat seperti Artur Miller, John Updike, Paul Theroux, Margret Atwood, Hanif Kureisyi, Woody Allen, dan lain-lain.
"Buku ini,” kata Gordimer, “bermula ketika beberapa tahun lalu saya berpikir bahwa sebagai seorang penulis kita harus melakukan sesuatu untuk para korban AIDS hingga kemudian saya menulis surat pada 20 penulis besar dunia dan meminta mereka mengirimkan sebuah cerita pendek. Saya katakan pada mereka jika saya akan mencari sebuah penerbit yang bersedia menyumbangkan dana untuk biaya percetakan buku dan seluruh prosesnya dan kemudian menyumbangkan keuntungannya untuk para korban AIDS. Semula saya berpikir jika ada 10 atau 15 penulis yang setuju itu sudah cukup untuk dicetak. Namun, saya sangat senang ketika 20 penulis tersebut bersedia dan dengan cepat mengirimkan cerita mereka. Begitulah, hingga akhirnya buku yang berisi 20 cerita pendek ini bisa terbit. Sejauh ini, buku ini telah terjual sekitar 50.000 eksemplar dan diterjemahkan ke dalam kurang lebih 15 bahasa. Saya sangat senang bisa memberikan buku ini pada Anda."
Mahfuz mengucapkan terima kasih pada Gordimer dan menerima buku itu sembari berkata, "Seandainya Anda meminta saya menyumbangkan salah satu cerita saya untuk tujuan seperti itu pasti saya akan mengirimkan juga." “Tetapi,” kata Gordimer, “bukankah pada saat menerima Nobel, Anda telah menyumbangkan uang Anda?
“Saya membagi hadiah Nobel untuk diri saya sendiri, istri, dan kedua anak saya seperti yang diajarkan oleh Islam. Dan kemudian bagian yang saya peroleh saya sumbangkan untuk kemanusiaan. Sumbangan itu kemudian digunakan untuk para penderita gagal ginjal yang harus cuci darah agar bisa mempertahankan hidupnya–yang di Mesir sangat mahal.”
Gordimer mengambil satu buku lagi dari dalam tasnya. Mahfuz tertawa sembari berkata, "Tidak, saya tidak ingin menerima lebih banyak buku dari Anda. Saya hanya memberi satu."
“Saya tidak akan memberikan buku ini melainkan saya ingin Anda memberikannya pada saya. Saya membelinya untuk melengkapi koleksi terbitan Inggris karya-karya Anda. Tolong tanda tangani buku ini dengan pena Anda. Saya tidak menyangka Anda akan memberi saya The Dreams dan saya kebetulan membawa salah satu buku Anda untuk bacaan selama dalam perjalanan. Dengan cara ini, kita telah memberikan masing-masing dua buah buku.
Mahfuz menandatangani bukunya, Ibn Fatouma Travels, dengan tangan yang bergetar dan menyerahkannya pada Gordimer, yang cepat-cepat memasukannya ke dalam tas bersanding dengan The Dreams–seolah-olah ia tengah menyembunyikan keduanya dari tangan-tangan usil.
Gordimer tampaknya tak ingin membebani tuan rumahnya yang menderita karena kedinginan seperti yang berkali-kali ia ucapkan sehingga Gordimer pun berkata, "Sekarang saya akan meninggalkan Anda dan kembali ke Hotel sehingga saya bisa membaca The Dreams."
Mahfuz memandang saya dan berkata "Dan Anda? Apakah Anda bersedia membacakan cerita-cerita yang Nadine Gordimer berikan pada saya?"
Saya berjanji akan membacakannya sambil mengantarkan tamunya yang luar biasa itu ke pintu.
========================
Sumber: Al-Ahram Weekly 3 - 9 February 2005 Issue No. 728
0 komentar:
Posting Komentar